skip to main | skip to sidebar

Pages

Minggu, 19 Desember 2010

Membangun Kemandirian Masyarakat Daerah Tertinggal Nias


Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) mengharapkan masyarakat dapat memberikan masukan yang berarti serta partisipasi aktif seluruh masyarakat dalam upaya mengentaskan daerah-daerah tertinggal sehingga dapat tercapai dan sejajar dengan daerah-daerah lain.

Perlunya pengentaskan daerah tertinggal ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari program Kabinet Indonesia Bersatu jilid II dibawah kepemimpinan Presiden.

Seperti diketahui ada tiga capaian yang menjadi target pembangunan nasional lima tahun ke depan yaitu; pertama, angka rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen. Kedua, berkurangnya persentase penduduk miskin dari sekitar 14 persen menjadi 8 persen dan ketiga, berkurangnya pengangguran terbuka dari 9 persen menjadi 5 persen.

Pada RPJM 2010 – 2014 jumlah daerah tertinggal terdapat 183 kabupaten, terdiri atas 149 kabupaten tertinggal, sebagai kabupaten yang masih berstatus tertinggal dari 199 daerah tertinggal pada tahun 2004- 2009; dan 34 kabupaten hasil pemekaran (Daerah Otonomi Baru). Dari jumlah tersebut sebanyak 128 kabupaten atau sekitar 62 % berada di wilayah kawasan timur Indonesia  (KTI).

Dengan jumlah tersebut KPDT menargetkan dan juga sesuai dengan harapan Bapak Presiden, maka pada akhir tahun 2014 minimal 50 daerah tertinggal dapat terentaskan dari ketertinggalannya.

Lokus Pembangunan daerah Tertinggal

Suatu daerah dapat dikatakan tertinggal manakala memiliki paling tidak ada 6 kriteria, Yaitu : (a) letak geografis relatif terpencil dan sulit dijangkau;(b) potensi sumber daya alam relatif kecil atau belum dikelola dengan baik;(c) kuantitas sumber daya manusia relatif sedikit dengan kualitas relatif rendah;(d) kondisi infrastruktur sosial ekonomi kurang memadai; (e) kegiatan investasi dan produksi yang rendah; (f) dan beberapa daerah merupakan daerah rawan bencana alam dan rawan konflik, baik secara vertical maupun horizontal.

Secara umum, daerah tertinggal dapat ditipologikan sebagai berikut; (1) Daerah pedalaman/terisolir : wilayah yang kurang atau tidak memiliki akses ke daerah atau wilayah lain yang relative maju; (2) daerah kepulauan/pulau terpencil/pulau-pulau kecil: gugusan pulau yang berpenduduk dan memiliki kesulitan akses ke wilayah lain yang relatif lebih maju: (3) Daerah perbatasan: wilayah tertinggal yang terletak di sepanjang perbatasan antar Negara;(4) Daerah enclave. wilayah tertinggal yang merupakan enclave di wilayah yang relatif berkembang maupun wilayah-wilayah yang mempunyai fungsi khusus; dan (5) Daerah rawan bencana dan konflik sosial: wilayah yang sulit mencapai kemajuan akibat seringnya wilayah tersebut mengalami bencana dan konflik sosial.

Saat ini yang menjadi perhatian KPDT ada tiga lokus, yaitu kawasan perbatasan, daerah rawan konflik dan bencana serta kawasan timur Indonesia.

Dengan perhatian tiga lokus itu, bukan berarti daerah-daerah lain yang masih tertinggal diabaikan, tetapi KPDT akan memperhatikannya termasuk daerah tertinggal yang ada di pulau jawa.

Arah Kebijakan Pembangunan Daerah Tertinggal

Upaya mempercepat pembangunan daerah tertinggal, KPDT telah menetapkan tujuan percepatan pembangunan daerah tertinggal, yaitu:

(i)Meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dengan sasaran untuk menyetarakan tingkat kesejahteraan rakyat dan perkembangan wilayah antara daerah tertinggal dan maju.
(ii)Meningkatkan keberdayaan masyarakat, dengan sasaran untuk mendorong keterlibatan dan partisipasi aktif masyarakat dalam proses transformasi sosial-ekonomi-lingkungan di daerah tertinggal dan
(iii) Memperkuat kapasitas kelembagaan sosial-ekonomi dan pemerintahan, dengan sasaran untuk mendukung upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi, pemberdayaan masyarakat serta peningkatan kinerja pelayanan publik di daerah tertinggal.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut diatas, telah ditetapkan 4 pilar strategi, yaitu ;

* peningkatan kemandirian masyarakat dan daerah, yang dilakukan melalui kebijakan pengembangan ekonomi lokal, pemberdayaan masyarakat dan penyediaan prasarana dan sarana pedesaan/lokal.

* Pengoptimalisasian pemanfaatan potensi wilayah, yang dilakukan melalui kebijakan penyediaan informasi dan analisis potensi sumber daya alam, pemanfaatan teknologi, peningkatan kegiatan investasi, pemeberdayaan dunia usaha dan UMKM, pengembangan kawasan produksi/pedesaan.

* Penguatan integrasi ekonomi antara daerah tertinggal dan maju, yang dilakukan melalui kebijakan penguatan jaringan  ekonomi antar daerah, pembangunan jaringan parasarana antar daerah, dan pembangunan pusat pertumbuhan ekonomi daerah; dan

* Peningkatan penanganan daerah tertinggal yang memiliki karakteristik khusus keterisolasian dan kerentanan sosial-ekonomi (rawan bencana, pedalaman, pesisir, perbatasan, dan pulau terpencil yang dilakukan melalui kebijakan penyediaan sarana sosial dasar, pemberdayaan komunitas adat terpencil, penyediaan bantuan subsidi pelayanan perintis dan pengembangan wilayah perbatasan.

Untuk melakukan startegi nasional percepatan pembangunan daerah tertinggal, KPDT telah mengembangkan instrument pelaksanaan kebijakan yang meliputi: (i) Penyediaan bantuan pembangunan daerah tertinggal dan khusus; (ii) pembangunan infrastruktur pedesaan bagi pembukaan keterisolasian daerah; (iii) pengembangan kawasan produksi (iv)  pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daerah (v) pengembangan jaringan ekonomi dan prasarana antar wilayah, (vi) pengembangan wilayah perbatasan (termasuk pulau kecil terluar).

Perubahan Paradigma

Untuk mempercepat proses pengentasan daerah-daerah tertinggal baik di kawasan perbatasan maupun di daerah konflik, rawan bencana dan kawasan timur Indonesia. Diperlukan perubahan paradigma dalam mengentaskan daerah tertinggal. Bila sebelumnya paradigma daerah tertinggal berbasis pada kawasan, maka sekarang paradimagnya berbasis pada desa (base on village). Dengan paradigma berbasis pada pedesaan ini, maka sasaran pengentasan daerah tertinggal ini langsung ke jantungnya, yaitu desa sebagai center komunitas. Melalui paradigma ini maka setiap desa tertinggal terdapat satu program yang komprehensif.
Pembangunan yang berbasis pedesaan sangat penting dan perlu untuk memperkuat fondasi perekonomian Negara, mempercepat pengentasan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan pengembangan antar wilayah. Dengan pembangunan daerah-daerah tertinggal  berbasis pedesaan ini maka akan menjadikan desa sebagai basis perubahan.

Dalam kontes itu maka sumber-sumber pertumbuhan ekonomi harus digerakkan ke pedesaan sehingga desa menjadi tempat yang menarik sebagai tempat tinggal dan mencari penghidupan untuk itu maka infrastruktur desa seperti irigasi, sarana dan prasarana transportasi, listrik, telepon, sarana Pendidikan, kesehatan dan sarana lain yang dibutuhkan harus disediakan sehingga memungkinkan desa maju dan berkembang.
Dalam rangka itu, maka skala prioritas yang dilakukan KPDT bagi pembangunan daerah yang berbasis pada pengembangan pedesaan (rural based development) kebijaksanaan yang dilakukan antara lain mencakup (1) pengembangan ekonomi lokal (2) Pemberdayaan masyarakat (3) pembangunan sarana dan prasarana; dan (4) pengembangan kelembagaan.

Untuk mewujudkan hal tersebut perlu adanya model intervensi terhadap proses pembangunan pedesaan dengan bertumpu pada paradigma pengkotaan pedasaan (rural urbanization) dengan melakukan pengembangan perkotaan dan pedesaan sebagai kesatuan ekonomi dan kawasan yang tidak terpisahkan, pengembangan kegiatan pertanian secara modern melalui mekanisme dan industrialisasi dan penerapan standar pelayanan minimum antara desa dan kota.
Tentu saja dalam upaya membangun desa-desa tersebut, KPDT dalam membangun bertumpu pada potensi sumber daya alam (SDA) setempat. KPDT akan mengembangan SDA-SDA lokal sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah maka akan lahir atau muncul model-model desa sesuai dengan potensi yang dimiliki, seperti desa kerajinan, desa budi daya peternakan, desa budi daya rumput laut dan lain-lain.

Perlunya memperhatikan potensi SDA lokal tersebut sesuai dengan Kebijakan Daerah Pembangunan nasional. Dalam UU no.17 tahun 2007 tentang RPJP nasional 2005-2025 mengenai kebijakan pengembangan wilayah tertinggal yang menyebutkan bahwa “ pengembangan wilayah diselenggarakan dengan memperhatikan potensi dan peluang keunggulan sumber daya darat dan/atau laut di setiap wilayah, serta memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan daya dukung lingkungan”.
Sehubungan dengan itu maka dalam rangka intervensi pembangunan pedesaan tersebut perlu memperhatikan secara mendalam tentang “anatomi desa” sehingga tidak kontraproduktif dan muncul resistensi dari masyarakat desa. Adapun untuk melihat anatomi desa tersebut, antara lain mencakup struktur demografi masyarakat, karakteristik sosial-budaya,karakteristik fisik/geografis,Pola kegiatan usaha, pola keterkaitan ekonomi desa-kota, sektor kelembagaan desa dan karakteristik kawasan pemukiman. Singkat kata dalam pembangunan pedesaan harus berlandaskan pada lokal wisdom dan pembangunan yang berkelanjutan (sustainability).

Sehubungan dengan itu ada beberapa azas yang harus diperhatikan pembangunan pedesaan tersebut,

pertama, berorientasi pada masyarakat (people centered). Masyarakat di daerah tertinggal adalah pelaku(actors) dari kegiatan yang dilaksanakan sehingga hasil (output) dan dampaknya (outcome) dapat dirsakan langsung oleh masyarakat setempat.

Kedua, berwawasan lingkungan (environmentally sound). Pelaksanaan kegiatan harus berwawasan lingkungan secara berkelanjutan (sustainability) sehingga perlu pertimbangan dampak kegiatan terhadap kondisi lingkungan, ekonomi, social dan budaya masyarakat baik untuk jangka pendek, menengah dan jangka panjang.

Ketiga, sesuai dengan adat dan budaya setempat (cultural appronate). Pengembangan kegiatan berorientasi pada kondisi dan kebutuhan masyarakat perlu memperhatikan adat istiadat dan budaya yang telah berkembang sebagai suatu kearifan tradisional (traditional wisdom).

Keempat, sesuai kebutuhan masyarakat (socially accepted), yakni dilakukan berdasarkan kebutuhan daerah dan masyarakat penerima dan bukan berdasarkan asas pemerataan dimana setiap daerah berhak atas bantuan pendanaan pemerintah.

Kelima, tidak diskriminatif (undiscriminative). Pelaksanaan kegiatan di wilayah tertinggal perlu menerapkan prinsip tidak diskriminatif baik dari segi SARA maupu gender.

Membangun kemandirian masyarakat Nias Barat
Sejak awal era reformasi, dalam upaya menghapus kebijakan sentralistis, pemerintah menerapkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah melalui paket UU no.22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang kemudian direvisi melalui UU no.32 tahun 2004 dan  UU no.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang direvisi melalui UU no.32 tahun 2004.

Melalui paket regulasi ini daerah diberi kewenangan untuk mengelola daerah dan mengambil prakarsa sendiri dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan pelayanan publik. Dalam konteks itu sebagian besar kewenangan atau urusan pemerintahan didelegasikan kepada daerah, sementara yang menjadi urusan pusat adalah terkait dengan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yudisial, moneter, serta fiskal dan agama. Selain memberikan kewenangan kepada daerah sebagai bagian dari desentralisasi politik, pemerintah juga memberikan pendanaan pembangunan melalui transfer ke daerah sebagai salah satu instrumen pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu melalui dana perimbangan.

Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). Dana bagi hasil (DBH) terdiri atas DBH pajak dan DBH sumber daya alam (SDA), merupakan hak daerah atas pengelolaan sumber-sumber penerimaan negara yang dihasilkan tiap daerah dan besarnya memperhitungkan potensi daerah penghasil (by origin). DAU dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai prioritas nasional.

Sasaran yang ingin dicapai dalam regulasi kewenangan tersebut, untuk membangun kemandirian daerah khususnya masyarakat Kabupaten Nias Barat. Selanjutnya pemerintah telah menetapkan 11 skala prioritas yang tersebut dalam (RPJMN Tahun 2010 -2014, Buku I Prioritas Nasional) satu diantaranya adalah skala prioritas ke-10 yaitu mempercepat pembangunan daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik. Program aksi daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik ditujukan untuk pengutamaan dan penjaminan pertumbuhan di daerah-daerah.

Dalam upaya percepatan pembangunan wilayah tersebut, usaha yang akan dilakukan pemerintah antara lain, pertama, mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh sehingga dapat mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal di sekitar dalam suatu sistem wilayah pembangunan ekonomi yang sinergis.

Kedua, meningkatkan keberpihakan pemerintah untuk mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal dan terpencil sehingga wilayah-wilayah tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat dan dapat mengurangi ketertinggalan pembangunan dengan daerah lain.

Ketiga, mengembangkan wilayah-wilayah perbatasan dengan merubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini berorientasi inward looking menjadi outward looking sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktifitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga.

Keempat, mendorong keterkaitan kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan dengan kegiatan ekonomi di pedesaan secara sinergis (hasil produksi wilayah pedesaan back wards linkages dari kegiatan ekonomi di wilayah sekitar, dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi.

Untuk mempercepat pembangunan daerah-daerah tertinggal sehingga menjadi sejajar dengan daerah-daerah lain yang sudah maju, hal itu bukan hanya menjadi tugas pemerintah, tetapi merupakan tugas kolektif bersama. Semua komponen anak bangsa harus bersama-sama bahu-membahu menjadikan tanah air tercinta ini betul-betul dapat mensejahterakan rakyat dan bangsa Indonesia. Kita memiliki modal sosial dan modal politik serta local wisdom yang menjadi kekuatan rakyat ini untuk mewujudkannya.

Hal ini tidak berarti sedang memprotes hiruk-pikuk politik yang terlampau jauh dari spektrum sesungguhnya, tetapi kita perlu fokus pada tujuan semula, yakni bagaimana masyarakat harus diberdayakan dan kemiskinan harus segera dituntaskan.

Pada akhirnya, dengan membangun daerah tertinggal melalui upaya kemandirian masyarakat Kabupaten Nias Barat tidak dapat ditawar lagi. Berbagai potensi yang ada diharapkan dapat dikelola secara optimal untuk mensejahterakan masyarakat sekaligus dapat mempercepat kemandirian masyarakat Kabupaten Nias Barat.

Pembangunan SDM mempunyai arti penting dalam era global, sehingga pengembangan SDM perlu diarahkan untuk meningkatkan daya saing.

Konsekwensi inilah yang menjadikan kabupaten pemekaran dihadapkan pada kebutuhan yang mendesak diberbagai bidang misalnya sarana prasarana yang belum memadai, lembaga-lembaga pendukung, serta sumber daya baik SDM maupun SDAnya. Melalui partisipasi dan peran seluruh masyarakat untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan, diharapkan mempercepat pelaksanaan pembangunan sehingga kemandirian masyarakat dapat tercapai.

Dengan usaha-usaha yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh KPDT sebagaimana telah dipaparkan, diharapkan akan dapat mencetak SDM yang handal dan melahirkan pusat-pusat pertumbuhan di desa. Dengan berkembangnya desa menjadi desa maju, pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi angka kemiskinan, serta dapat menciptakan lapangan pekerjaan sekaligus mengurangi angka pengangguran. Kedepan diharapkan dapat mengurangi disparitas antara satu daerah dengan daerah lainnya sehingga tujuan dalam rangka “MEMBANGUN KEMANDIRIAN MASYARAKAT NIAS BARAT” akan segera terwujud. Untuk mewujudkan hal tersebut, peran dan keterlibatan dari berbagai stakeholders dan partisipasi aktif dari seluruh masyarakat sangat diperlukan.

sumber : http://www.pnpm-perdesaan.or.id/

Artikel Terkait



0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...