skip to main | skip to sidebar

Pages

Minggu, 13 Februari 2011

Garam Saja Impor



Sebagai negara kepulauan dengan panjang pantai 5,8 kilometer dan laut seluas 81.000 kilometer persegi, Indonesia ternyata tak mandiri dalam memproduksi garam. Untuk memenuhi kebutuhan garam sekitar 3 juta ton, Indonesia harus mengimpor garam 1,8 juta ton per tahun.

Volume impor itu terus bertambah seiring meningkatnya kebutuhan dalam negeri untuk keperluan industri dan konsumsi rumah tangga rata-rata 2 persen per tahun.

”Kesalahan strategi dalam membangun industri garam nasional adalah penyebab utama terjadinya hal itu. Usaha hanya dikembangkan di Pulau Jawa (dan Madura) yang sebetulnya memiliki musim kemarau yang pendek sehingga produksi garam selalu tidak optimal,” kata Wakil Menteri Perindustrian Alex SW Retraubun di Jakarta, Sabtu (12/2/2011).

Pilihan pengembangan industri garam di Pulau Jawa-Madura dan sedikit di luar Jawa selama ini perlu dimaklumi karena semua infrastruktur yang dibutuhkan, seperti pelabuhan dan jalan raya yang memadai, hanya tersedia di wilayah ini. Akibatnya, daerah-daerah di luar Jawa, seperti di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki musim kemarau hingga delapan bulan, yang seharusnya pantas menjadi basis produksi garam nasional, selalu terabaikan.

Selama ini, menurut Alex, produksi garam nasional hanya rata-rata 1,2 juta ton per tahun yang dihasilkan dari lahan seluas 19.600 hektar yang tersebar di sejumlah daerah di Jawa, Madura, Sulawesi Selatan, dan Bali. Kebutuhan nasional sejak tahun 2009 sekitar 3 juta ton per tahun.

Perusahaan Negara Garam bahkan hanya memproduksi 280.000 ton per tahun dari total lahan 5.750 hektar di Madura. Namun, tahun 2010, perusahaan ini hanya memproduksi 23.000 ton sehingga seluruh kebutuhan praktis dipenuhi impor.

Selain untuk konsumsi rumah tangga (24 persen), kebutuhan terbesar justru untuk bahan baku industri plastik (50 persen). Kebutuhan lain adalah untuk bahan baku industri kosmetik dan cairan infus (16 persen), pengeboran minyak (4 persen), dan industri aneka pangan.

Untuk meningkatkan produksi garam nasional, saat ini sudah dibangun pabrik garam di Nusa Tenggara Timur oleh investor Australia. Adapun investor dari Taiwan sudah menyampaikan komitmennya untuk berinvestasi di NTT.

Nusa Tenggara Timur dipilih karena musim keringnya berlangsung delapan bulan per tahun.

Anomali cuaca Menurut Alex, kondisi pergaraman nasional mencapai titik terendah tahun 2010 karena musim hujan nyaris berlangsung sepanjang tahun. Total produksi hanya 24.000 ton sehingga total impor melonjak menjadi 2,976 juta ton.

Di Rembang, Jawa Tengah, misalnya, produksi garam tahun lalu hanya sekitar 20.000 ton atau anjlok 84 persen dibanding tahun 2009, yakni 143.753 ton.

Bahkan, di Madura, pulau yang selama ini merupakan produsen terbesar garam nasional, pada tahun 2010 sama sekali tidak ada produksi. Akibatnya, semua pemilik lahan, penggarap, dan buruh angkut tidak menikmati hasil dari garam.

Setiap hari selama enam bulan musim garam, Mei-November, petani masih tetap bekerja di lahan, antara lain memasukkan air laut ke dalam lahan agar bisa jadi garam. Setiap hari pula calon bakal kristal garam disapu hujan sehingga sepanjang tahun 2010 petani gagal panen.

”Padahal, setiap musim petani di Madura mampu memproduksi garam berkisar 80-100 ton. Sekarang petani malah menanggung beban kerugian minimal Rp 3,5 juta per hektar,” ungkap Abdurrahman, petani garam di Pinggirpapasan, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep.

Cuaca tak menentu juga memukul petani garam di Jeneponto, Takalar, Pangkajene Kepulauan, dan Maros, Sulawesi Selatan.

Ketergantungan terhadap impor yang begitu tinggi ikut memukul petani garam lokal. Garam asal Australia dijual seharga Rp 800 per kilogram dan garam dari India Rp 650 per kilogram. Tak sedikit pula petani garam yang terjerat utang kepada tengkulak. Akibatnya, mereka dipaksa menjual harga Rp 200-Rp 300 per kilogram.

”Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 21 Tahun 2007 yang menetapkan harga garam petani untuk kualitas satu Rp 325 per kilogram dan kualitas dua Rp 250 per kilogram ikut memperparah penderitaan petani garam,” kata H Muh Hisyam, petani garam Desa Ragung, Kecamatan Pangarengan, Sampang.

Wellem Tuflasa, petani garam di Aerkia, Kelurahan Merdeka, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, NTT, menambahkan, selama ini garam dijual sangat murah, Rp 17.000-Rp 25.000 per karung dengan berat 50 kilogram, tergantung cuaca.

sumber : JAKARTA, KOMPAS.com

Artikel Terkait



0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...