skip to main | skip to sidebar

Pages

Kamis, 20 Januari 2011

Pesona Sulawesi



Penerbangan dari Jakarta ke Manado sekitar 3 jam saya lalui dengan lancar. Ketibaan di Manado jam 1 siang tak menyisakan cukup waktu untuk menyeberang ke Bunaken dan snorkeling di sana, apalagi diving. Jadi, saya putuskan untuk berwisata santai saja di kota Manado. Lokasi pertama yang saya kunjungi adalah patung Yesus yang sangat tinggi di daerah perumahan di Winangun. Sebenarnya, untuk mencapai pusat kota dari bandara tak harus melalui daerah ini, tapi saya turuti saja rekomendasi dari sopir taksi. Pak sopir tidak salah rekomendasi. Saya bahkan sempat merinding saking takjub melihat Yesus ‘melayang’ ini. Ternyata Manado tidak kalah dengan Brazil atau Venezuela yang juga punya patung Yesus raksasa.

Sore hari adalah saatnya menyantap makanan lokal. Restoran sederhana Dabu-Dabu di Jalan Boulevard menjadi pilihan tuan rumah yang baik hati buat saya. Menu yang pertama keluar kangkung cah jagung yang cukup pedas. Lalu muncul ikan bobara woku-woku. Huh haahh..! Pedasnya bukan main! Apalagi kemudian ditambah sambal rowa, yaitu campuran cabai dan ikan rowa. Tapi, bukannya Manado lebih terkenal dengan rica-rica? Akhirnya, setelah berteguk-teguk air untuk menetralkan rasa pedas dari rowa, woku-woku, dan kangkung cah, ikan cakalang rica-rica menjadi sajian terakhir. Dengan antisipasi tinggi saya mulai menyuap nasi dan cakalang rica-rica. Suap demi suap membuat saya kecewa karena masakan yang tersohor kepedasannya ternyata terasa biasa saja. Makan sambil ngobrol ngalor ngidul, perlahan-lahan saya mulai merasakan panas yang menjalar dari tenggorokan, mulut, telinga, kepala bagian belakang, wajah, hingga ubun-ubun! Ya ampun, ternyata begitu toh “serangan” rica-rica! Pedasnya tak tertahankan, butir-butir keringat sebesar biji jagung semakin membasahi dahi, kepala, wajah, dan leher saya. Bernapas pun saya megap-megap demi melawan pedas!

Saya tak bisa lama di Manado karena harus mengejar jadwal feri ke Kepulauan Togian yang berangkat dari Gorontalo. Pagi-pagi sekali saya berangkat naik mobil travel yang ditempeli stiker Ali Topan. Sesuai namanya, mobil ini lari ngebut sekali. Angin pun menerpa dengan kencang lewat jendela, dan udara di sepanjang perjalanan sangat segar, minim polusi. Sembilan jam perjalanan antara Manado dan Gorontalo, di kiri kanan saya nampak pemandangan ladang hijau dan teluk biru yang indah, terutama di daerah Bolaan Mongondo. Pak sopir menghentikan mobil tiap saya mau memotret alam indah itu. Penumpang-penumpang lainnya sabar menunggu, bahkan memberi tahu spot mana lagi yang bagus untuk difoto. Senangnya mendapat sambutan positif dari penduduk lokal! Jam enam sore saya tiba di Pelabuhan Penyeberangan Gorontalo dan segera membeli tiket kelas Bisnis I feri Tuna Tomini menuju Wakai. Lega sekali, karena kalau sampai telat atau tidak kebagian tiket, berarti harus menunggu beberapa hari lagi untuk keberangkatan selanjutnya. Lalu jam sembilan malam Tuna Tomini melepaskan jangkarnya, dan dimulailah perjalanan feri 12 jam.

Saat terbangun di pagi hari, saya disuguhi pemandangan pulau-pulau kecil berhutan rindang dengan rumah-rumah penduduk di pinggir pantai. Feri sudah mendekati pelabuhan Wakai di Pulau Batudaka. Yes! Akhirnya jam sembilan tepat sampai juga di Kepulauan Togian! Disambung dengan penyeberangan perahu kecil, sampailah saya di Pulau Kadidiri, salah satu pusat keramaian Kepulaun Togian. Di sana ada tiga penginapan dengan keunggulan masing-masing. Saya menginap tiga malam di Kadidiri Paradise, yang secara umum paling mahal tarif kamarnya, dan suasananya paling tenang dibanding yang lain. Di malam keempat saya berhasil menginap di Black Marlin setelah ada tamu yang pindah ke pulau lain. Sedangkan kamar di Pondok Lestari sepertinya tak pernah kosong, mungkin karena tarif mereka yang termurah. Memesan kamar di Pulau Kadidiri adalah tantangan berat karena pulau ini tidak terhubung internet dan miskin sinyal telepon. Resiko tak mendapat kamar memang cukup besar, apalagi di bulan Juli atau Agustus yang merupakan high season. Namun karena ramainya, justru saya bisa mengobrol dengan banyak pengunjung lainnya. Mereka kebanyakan dari Eropa, dan cuma saya dan dua teman saya pengunjung dari dalam negeri. Lucu rasanya menjadi minoritas di negeri sendiri.

(Baca artikel lengkapnya di Majalah Panorama Edisi XXI Januari Februari 2011)
sumber : http://readpanorama.com/artikel/pesona-sulawesi

Artikel Terkait



0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...