skip to main | skip to sidebar

Pages

Senin, 10 Januari 2011

Intip Tren Fesyen Global Musim Semi 2011

Detail Berita
Koleksi Burberry (Foto: Google)

APA yang menjadi inspirasi para desainer untuk tren musim semi 2011? Jawabannya adalah citra simpel, ringan, dan praktis yang tercermin dari cutting, motif, serta bentuk busana.

Sejak pertengahan tahun lalu, tren musim semi 2011 telah dirumuskan. Para desainer memberikan arahan gaya yang akan ditangkap para buyer dan peritel kemudian diterjemahkan di rak-rak department store, butik, maupun gerai multibrand. Lalu, apa yang akan menjadi “the must have item” di tahun baru ini?

New York Fashion Week menjadi sajian pembuka yang mempersembahkan sisi praktis berbusana lewat warna dominan hitam. Tak peduli musim semi yang cerah penuh warna, pelaku mode New York tetapsaja mengagungkan hitam. Kendati demikian, hitam tidak tampil solo, melainkan dikombinasikan dengan berbagai palet terang yang memperingan “mood” muram dari hitam. Selain itu, sisi praktis pun diperlihatkan para desainer New York dengan mengesampingkan idealisme dan lebih memilih menghadirkan koleksi yang sesuai selera pasar. Tren mode pun akhirnya bergeser pada busana yang praktis, simpel, dan berdaya guna tinggi. Sesuatu yang akan bisa terus digunakan, bahkan saat musim berganti.

“Sebenarnya, tren ini justru baik mengingat ‘fashion week’ adalah rumusan tren ke depan yang terkadang memusingkan konsumen. Apa yang kami tawarkan adalah tren untuk musim baru, enam bulan ke depan. Jadi, jika konsumen melihat apa yang diberitakan di koran, majalah, ataupun website dan langsung pergi ke toko, mereka tidak akan menemukan apa yang mereka cari, melainkan koleksi musim sebelumnya,” kata Presiden Council of Fashion Designers of America (CFDA) Diane Von Furstenberg.

“Dan para desainer mulai menjauh dari ‘mood gloomy’ akibat resesi dan menghadirkan banyak koleksi praktis dan ekstra siap pakai yang justru bisa dikenakan sepanjang tahun,” sambungnya.

Tantangan untuk menghadirkan koleksi yang mampu menarik minat belanja para konsumen pun dijawab para desainer New York dengan menghadirkan rangkaian busana yang didominasi warna hitam dan harga yang lebih terjangkau.

“Sekarang ini merupakan saat yang sangat menantang,” ujar desainer Zac Posen.

“Tingkat belanja konsumen masih belum sepenuhnya pulih dari resesi dan kami harus membuat sesuatu yang bisa mengembalikan minat mereka dalam berbelanja dan itu adalah hitam. Kenapa? Karena hitam tidak pernah gagal,” kata Posen, yang koleksinya banyak digunakan selebriti Hollywood ini.

Selain Posen, desainer lain yang juga mengetengahkan hitam sebagai bagian dari strategi penjualan adalah Marc Jacobs. Bukan hanya warna yang menjadi kekuatan Jacobs, tapi juga pemikiran cepatnya akan harga yang variatif. “Kita harus mencoba semuanya, termasuk memberi ‘range’ harga yang lebih luas sehingga terdapat kesempatan yang lebih besar bagi konsumen untuk membeli apa yang mereka inginkan,” ujar dia.

Di London, panggung mode memberi nuansa warna yang lebih ceria. Wajar, karena London memiliki barisan desainer muda yang gemar menyajikan gaya rancangan edgy. Jauh dari mainstream dan kehendak pasar. Meski demikian, beberapa desainernya masih memilih arus mode utama dan menghadirkan selera yang lebih bisa dicerna.

Tren mode yang ditawarkan London Fashion Week juga masih menunjukkan sisi praktikalitas yang sebelumnya diperlihatkan New York. Burberry menampilkan rangkaian busana yang terinspirasi dari “jualan” utamanya, trench coat. Karenanya, di hampir seluruh rancangannya, sang direktur kreatif Christopher Bailey memberikan sentuhan ala trench, yakni double breasted ataupun potongan tegas yang menjadi ciri khas trench Burberry. Sementara Matthew Williamson yang baru-baru ini bekerja sama dengan peritel raksasa H&M masih mempertahankan sisi hippies dengan menghadirkan ragam motif abstrak dalam warna-warna mencolok.

“London selalu menjadi kota mode yang terkenal dan akan terus demikian karena London memiliki gaya dan kreativitas yang berbeda, lebih edgy, dan rebellious dibanding Paris atau Milan,” ujar Dekan Sekolah Mode Parsons, New York, Simon Collins, ketika diwawancara Reuters. “Selalu ada sesuatu yang membangkitkan gairah fashion di London, namun kelebihan itu tercoreng karena industri mode London tidak berjalan sebagus kota-kota mode lain, seperti New York, Milan, ataupun Paris, tujuan lain bagi desainer-desainer London yang ingin mengembangkan bisnisnya,” sambung Collins.

Di Milan, tren mode bergerak ke arah yang lebih klasik. Sayangnya, tradisi yang selama ini dipegang teguh para pelaku mode Milan mulai bergeser akibat krisis ekonomi global yang pada akhirnya berhasil melemahkan kekuatan mode Milan. Daya beli yang menurun membuat pasar produk mewah terpukul keras dan harus beradaptasi terhadap konsumen jenis baru, butterfly costumers, yang bagai kupu-kupu hinggap dari satu bunga ke bunga yang lain. Hal itu ditambah buyer yang semakin berkuasa memutuskan koleksi yang laku dan yang tidak, membuat posisi desainer sebagai otak kreatif di balik industri mode, melemah.

Mungkin, yang tersisa di Milan sebagai perumus tren adalah nama- nama layaknya Prada, Cavalli, Dolce & Gabbana, atau Armani. Lainnya, melakukan persis seperti yang diinginkan buyer, koleksi praktis dan mudah dijual. Marni, di permukaan mungkin terlihat seperti menurut pada selera konsumen, namun saat diperhatikan lebih teliti, ada sisi rebel dalam rancangannya. Begitu pula dengan Frida Giannini yang mengombinasikan gaya sportif dan ensemble unik untuk Gucci. Namun, tradisi dan citra fashion Milan yang kuat tetap diperlihatkan oleh Bottega Veneta dan Missoni, lewat tangan Tomas Maier dan Angela Missoni.

Di Paris, catwalk terakhir yang menjadi penutup seri pekan mode internasional, tren mode menjelma dalam drama. John Galliano membukanya dengan pertunjukkan teatrikal untuk rumah mode Christian Dior. Seperti juga Burberry, Galliano menyajikan rangkaian trench coat. Hanya saja, di panggung Dior, koleksi tersebut tampak keluar dari era 50-an. Lainnya, Galliano menghadirkan gaun bergaya lingerie-like ataupun rangkaian denim berwarna metalik yang akan membuat para disco diva berseru gembira.

Citra glamor juga menjadi tema koleksi milik Vivienne Westwood yang minggu sebelumnya mempersembahkan Red Label di London. Desainer bergelar Dame itu tetap mempertahankan ciri khasnya dengan menghadirkan punk rock yang dikombinasikan bersama gaya chic ala Paris. Sebagai final, Westwood menampilkan gaun pengantin bergaya avantgrade dengan slogan anti-pemanasan global, yang menunjukkan komitmennya terhadap lingkungan.

sumber : Okezone.com

Artikel Terkait



0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...