skip to main | skip to sidebar

Pages

Selasa, 05 April 2011

Melalang Buana, La Galigo 'Pulang' ke Sulsel


Naskah epos La Galigo

Tak banyak yang tahu, peradaban bangsa kita di masa lalu menghasilkan sebuah epos, hikayat, yang tak kalah dari Ramayana dan Mahabharata. Namanya, Sureq I La Galigo atau La Galigo. Ini adalah epos terpanjang di dunia, karya agung dari peradaban Bugis.

La Galigo justru tenar di luar negeri melalui pementasan teater I La Galigo'. Pentas perdana di Singapura pada tahun 2003, La Galigo keliling dunia, dipentaskan di kota-kota besar dunia: Amsterdam, Barcelona, Madrid, Lyon, Ravenna, New York, Melbourne, Milan, dan Taipei sepanjang tahun 2003-2008.

Pada 2005, La Galigo sempat 'pulang' dengan pementasan di Teater Tanah Airku di Jakarta. Namun, belum pernah sekalipun ia menginjakkan kaki di Sulawesi Selatan -- tanah kelahirannya.

Untuk itulah, tokoh dari Sulsel, Tanri Abeng punya gagasan untuk mementaskan La Galigo di Makassar. "Pementasan di Makassar adalah persembahan kembali kepada masyarakat Sulawesi Selatan," kata dia, dalam rilis yang diterima VIVAnews.com.

Pentas La Galigo akan diselenggarakan di Benteng Rotterdam, Makassar pada 23-24 April 2011.

Berbeda dengan pementasannya di luar negeri, La Galigo di Makassar akan melibatkan banyak seniman Sulawesi Selatan. Pemainnya pun banyak dari Sulsel. Diharapkan nantinya, La Galigo bisa dipentaskan secara rutin di kota ini. "Ke depan, segala informasi yang berkenaan dengan Sureq Galigo maupun seni pertunjukkannya mesti bisa didapat di sini, tak harus di luar negeri," kata Tantri Abeng, berharap.

La Galigo adalah hikayat kepahlawanan: menceritakan seorang pahlawan bernama, Sawerigading, putra penguasa dunia tengah. Sementara, I La Galigo merupakan salah seorang putra Sawerigading yang mewarisi kesaktian dan jiwa pengembara sang ayah.

La Galigo berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Mungkin karena itulah, hanya sedikit orang yang bisa memahaminya. Atas jasa seorang pembaca lontarak (aksara Bugis), Muhammad Salim, naskah itu diterjemahkan sebagian ke Bahasa Indonesia, lalu Bahasa Inggris.

Tanpa kerja kerasnya Muhammad Salim, Galigo tak lebih dari sekedar manuskrip tua tak dikenal yang berujung pada kepunahan. Sayang, ia tak sempat menuntaskan mimpinya, menerjemahkah La Galigo, baru dua dari 12 naskah yang sempat ia sulih. Sang penyelamat budaya itu telah berpulang ke Rahmatullah, Minggu, 27 Maret 2011.

sumber : VIVAnews

Artikel Terkait



0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...