skip to main | skip to sidebar

Pages

Selasa, 25 Januari 2011

Akar Seni Lukis Potret dalam Kebudayaan Indonesia

Oleh: Dr. Agus Aris Munandar
Departemen Arkeologi FIB UI

Seni Lukis potret yang dimaksudkan bukanlah lukisan potret orang belaka, jadi konsep lukisan potret dalam hal ini tidak hanya diartikan dalam pengertian sempit dan hanya berkenaan dengan potret orang sebagaimana yang diartikan selama ini, namun potret dalam pengertian yang seluasnya. Demikian yang sebenarnya hendak dibincangkan dalam risalah ini, bahwa tradisi seni lukis potret di Indonesia telah berakar cukup lama sejak abad abad Klasik Indonesia (abad ke-8—15 M), masa berkaryanya Raden saleh Syarif Bustaman (abad ke-19), hingga zaman sekarang ini yang melahirkan cukup banyak maestro seni lukis potret.

Seni lukis potret yang dimaksudkan adalah berkenaan juga dengan lukisan yang menggambarkan fenomena kebudayaan, kegiatan masyarakat, dan sekelompok orang dalam konteks kebudayaannya, selain lukisan yang menggambarkan tokoh-tokoh dalam format lukisan potret seperti lukisan para negarawan atau tokoh tertentu. Jadi yang dimaksud dengan potret adalah pengertian luasnya, yaitu lukisan yang memotret juga suasana dan fenomena kebudayaan beserta masyarakat pendukungnya, memotret kehidupan di sekitar kita.

Dalam pada itu sebagai genre dalam seni lukis, lukisan potret bertujuan untuk menampilkan atau menggambarkan visual dari objek sama persis ke dalam kanvas. Dalam perwujudannya, lukisan potret menampilkan bentuk objek sebagai seluruh tubuh dengan bentuk ‘panjang penuh’, ‘setengah panjang’, ‘kepala dan bahu’ (juga disebut “bust”), atau ‘kepala’, dan juga profil, “tiga-perempat”, atau “wajah penuh”, dengan berbagai arah cahaya dan bayangan. Sehingga kebanyakan seniman yang berkarya seni lukis potret mungkin berusaha untuk menampilkan karyanya secara realisme fotografis atau impresionistis dengan memaksimalkan kesamaan dalam menggambarkan subjek mereka.

Lukisan potret diharapkan tidak hanya menampilkan karya akhir yang berwujud sesuai dengan makna kemiripan secara harfiah saja, tetapi juga harus mampu menunjukkan representasi tertentu dibalik lukisan potret tersebut. Baik karakter, esensi batin, ekspresi ataupun sisi lain dari objek (dari sudut pandang sang seniman). Sebagaimana pernyataan Aristoteles dalam buku The Art of Portrait Painting, “Tujuan Seni adalah bukan hanya untuk menyajikan hal penampilan luarnya atau eksternalnya dengan detail saja, tetapi juga batin mereka, bila itu terwujud maka dapat dikatakan merupakan realitas sejati.” (Aymar 1967: 119). Dengan demikian diharapkan karya yang dihasilkan mampu menunjukan cita rasa, nilai, dan pemaknaan yang berbeda dengan hasil fotografi.

Ada satu hal yang penting dalam keberhasilan untuk mewujudkan seni lukis potret, yaitu kemampuan dalam setiap proses berkarya. Dimulai dari kemampuan sang seniman mengenali identitas objek dengan baik, menyampaikan identitas objek tersebut kepada penikmat berupa penuangannya ke dalam media kanvas, sehingga dengan mudah penikmat seni mampu untuk mengenal, mengetahui dan memahami objek karya lukis potret tersebut dengan baik.

Sebenarnya wujud seni rupa yang menggambarkan potret dalam pengertian seluasnya telah dikenal oleh nenek moyang bangsa Indonesia sejak lama. Bukti nyata tentang adanya penggambaran adegan-adegan atau potret adegan manusia dan masyarakat terdapat pada relief candi-candi. Maka Indonesia memiliki dua bangunan candi besar yang sarat dengan relief yang menggambarkan seni rupa dalam bingkai potret. Pertama adalah Candi Borobudur yang dibangun oleh wangsa Sailendra sekitar pertengahan abad ke-9 M, merupakan Candi Buddha Mahayana dan yang kedua adalah gugusan Candi Prambanan (Roro Jonggrang) yang selesai digarap pada sekitar akhir abad ke-9 M, merupakan percandian Hindu-saiwa.

Pada kedua candi tersebut digambarkan relief cerita yang berbeda sesuai dengan napas agamanya. Di Candi Borobudur dipahatkan relief dengan kisah antara lain Mahakarmmawibhangga, Jataka-Avadana, dan Lalitawistara. Adapun di Candi Prambanan dipahatkan relief cerita Ramayana dan Krsnayana.


Salah satu adegan dalam kisah Mahakarmmawibhangga, terlihat serombongan orang (berpayung) memberikan persembahan kepada orang-orang miskin. Pada adegan kiri terlihat ada seorang penting (bangsawan?) yang dihadap oleh para pengikutnya.

Adegan-adegan relief tersebut sudah barang tentu dibuat oleh nenek moyang bangsa Indonesia sendiri, dan apabila diperhatikan dapat dijumpai adanya kecermatan, ketepatan, dan keseuaian antara objek yang digambarkan dengan objek sebenarnya. Media batu sebenarnya merupakan sesuatu yang sulit untuk dibentuk karena sifatnya tidak plastis, namun nenek moyang kita telah mampu menghadirkan estetika tingkat tinggi pada relief-relief batu tersebut.


Sebagian adegan relief cerita Ramayana di dinding Candi Siwa Prambanan, menggambarkan pesta di Ayodya. Relief digambarkan dengan dinamis, cermat, dan naturalis sesuai dengan gambaran objek sebenarnya.

Relief-relief cerita yang digambarkan di kedua candi besar tersebut jelas digarap oleh tangan-tangan silpin (seniman) yang terampil pada masanya. Mereka juga telah berhasil menghadirkan suasana dan karakter pada penggambaran relief. Pada relief-relief di Candi Borobudur suasana khidmat yang syahdu senantiasa terdapat pada setiap penggambaran panil reliefnya, karena memang candi itu dibangun untuk sarana meditasi. Lain halnya dengan relief Ramayana dan Krsnayana di percandian Prambanan, panil-panilnya selalu menggambarkan suasana dinamis, kepahlawanan, dan penuh perjuangan. Hal ini selain sejalan dengan kisahnya, juga sesuai dengan tujuan pembangunan Prambanan sebagai candi untuk memuliakan tiga dewa Trimurti (Brahma, Wisnu, Siwa).

Seni lukis potret di Indonesia juga mempunyai akar tradisi lokal yang kedua, yaitu pada pemahatan arca-arca Dewa atau tokoh yang diperdewa. Pada masa Singhasari-Majapahit (abad ke-13—15 M) terdapat suatu bentuk pemujaan kepada Dewaraja, artinya seorang yang telah meninggal kemudian dibuatkan arcanya sesuai dengan dewa yang senantiasa dipujanya ketika dia hidup dahulu (ista-dewata). Kemudian arca tersebut disimpan di dalam bilik candi pendharmaan yang dibangun untuk memuja tokoh yang telah meninggal dan diperdewa tersebut. Arca-arca demikian dinamakan dengan arca-potret atau arca perwujudan.

Contohnya Raja Anusapati (1227—1248 M) dari Singhasari diwujudkan dalam bentuk arca potret Siwa Mahadewa dan disimpan di bilik Candi Kidal, arca Krtarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya) (1293—1309 M) sebagai Hari-hara (setengah Siwa dan Wisnu) didapatkan di Candi Sumber Jati, dan arca Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani (ibunda Hayam Wuruk) (1328—1351 M) sebagai Dewi Parwati di Candi Ngrimbi, Jombang.


Arca Dewi Parwati (Tribhuwanottunggadewi) dan Hari-Hara (Raden Wijaya)

Arca-arca tersebut digarap dengan kecermatan yang luar biasa, para silpin agaknya berupaya untuk menggambarkan wajah tokoh yang diarcakannya sesuai dengan keadaan sebenarnya, kemudian baru dibalut dengan busana kebesaran seorang dewa. Tradisi pembuatan arca potret tersebut tidak pernah ada di Tanah India sendiri, jadi asli hasil kreativitas pemikiran keagamaan dan juga penuangan ekspresi seni nenek moyang bangsa Indonesia sendiri.


Salah satu arca potret dalam masa akhir Majapahit, masa itu pembuatan arca potret telah merebak dalam masyarakat, jadi tidak hanya didominasi oleh kaum bangsawannya saja.

Pembuatan arca-arca perwujudan (arca potret) semakin semarak dalam masyarakat Majapahit menjelang keruntuhannya. Sepanjang abad ke-15 dijumpai banyak arca potret yang tidak dikenali tokoh siapa yang digambarkannya tersebut. Agaknya setiap orang yang mampu dan perlu dapat memesan silpin untuk membuatkan arca potretnya masing-masing. Arca-arca potret tersebut mempunyai ciri sebagai berikut:
a. digambarkan statis-kaku dengan badan tegak dan kedua tangan terjulur di samping tubuh atau bermeditasi di dadanya.
b. mata digambarkan terpejam atau setengah terpejam
c. digarap secara simetris pada tataran kanan-kiri arca
d. apabila digambarkan adanya hewan, maka hewan tersebut juga dalam sikap statis.

Arca-arca perwujudan tersebut bukan semata-mata diabdikan untuk keperluan keagamaan, akan tetapi juga merupakan ekspresi seni dari para silpin pembuatnya. Maka pada masa Majapahit sudah pasti terdapat silpin-silpin maestro dan juga silpin pemula. Dapat ditafsirkan arca-arca yang berpenampilan luar biasa indah seperti yang berasal dari Candi Sumber Jati dan Ngrimbi, pastinya para silpin istana yang sudah tinggi ilmunya apabila dibandingkan dengan silpin-silpin pedesaan yang belum mampu membuat arca yang indah dan berkharisma.

Demikianlah bahwa para pelukis potret di Indonesia, sebenarnya dapat mencari akar berkreativitasnya sejak zaman kuno, ketika kerajaan-kerajaan Klasik masih berkembang. Hal yang digambarkan tidak ada bedanya, yaitu potret orang dengan berbagai variasinya dan juga potret suasana, adegan masyarakat dalam lingkungannya. Perbedaannya hanyalah terdapat pada media tempat dituangkannya kreativitas seni tersebut, pada masa silam pada batu dalam bentuk relief dan arca, sedangkan para pelukis zaman sekarang menggunakan kanvas, cat, konte, dan lainnya lagi.

Sumber : http://hurahura.wordpress.com/2010/12/31/akar-seni-lukis-potret-dalam-kebudayaan-indonesia/

Artikel Terkait



0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...