skip to main | skip to sidebar

Pages

Minggu, 12 Desember 2010

Syafii Maarif: Pemimpin Harus Bekerja dengan Hati



DI usianya yang sudah 75 tahun, aktivitas dan konsistensi Prof Dr Ahmad Syafii Maarif nyaris tidak berkurang. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah (2000–2005) ini tetap fasih melahirkan gagasan segar, lantang melontarkan kritik, dan bersemangat dalam menyampaikan pemikiran-pemikiran baru.

Ini yang ditangkap ketika lebih dari dua jam berbincang dengan cendekiawan muslim itu di Kantor Maarif Institute, Tebet, Jakarta, awal pekan kemarin. Mulai dari masalah demokrasi dan pemerintahan, penegakan hukum, pluralisme hingga tentang rencana film yang mengangkat kisah perjalanan hidupnya.

Berikut ini petikannya. Assalamualaikum Buya. Apa kabar?

Waalaikumsalam. Alhamdulillahkabar baik dan sehat.

Selepas menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, aktivitas Buya masih tetap padat seperti dulu. Tidakkah merasa kewalahan?

Aktivitas saya memang boleh dibilang masih padat. Tapi sebenarnya banyak juga yang sudah dikurangi dan dipilah-pilah meski tetap saja rasanya sangat padat. Banyak undangan mengisi seminar, sebagai dosen, dan lain-lain yang saya kurangi. Usia menyesuaikan dengan beban aktivitas, makanya kehidupan saya kelihatan tetap berjalan normal.

Buya dikenal sebagai salah satu tokoh yang kritis terhadap pemerintahan, bagaimana Buya melihat pemerintahan saat ini?

Saya selalu mengikuti perkembangan pemerintahan dan tetap mengkritisi pemerintahan Indonesia kalau memang salah menurut pandangan saya. Tapi yang menjadi masalah apakah masih ada yang mau mendengarkan saya. Mudah-mudahan masih ada yang mau mendengar. Saya memberi kritik untuk membangun. Sekarang tanpa disadari, kita sudah demokratis benar-benar.

Pemimpin dipilih secara langsung oleh rakyat. Kemerdekaan pers dan sebagainya. Tapi sayangnya kondisi ini tidak diikuti sikap kepemimpinan bangsa yang tegas dan cepat mengambil keputusan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dipilih langsung dan memiliki legitimasi kuat, tapi ini tidak dijawab atau diimbangi dengan gaya kepemimpinan yang tegas. Saya katakan hampir 76% kebijakan pemerintah yang diarahkan SBY tidak jalan.

Mengapa hal ini terjadi?

Ya karena pembantu-pembantu SBY ikut-ikutan tidak sigap. Banyak sekali pembantu dan orang sekeliling SBY yang tidak jelas kerjaannya. Sekarang dibentuk Satgas (Mafia Hukum), lalu ada Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden). Ada menteri-menteri, juga ada wakil menteri. Untuk apa banyak-banyak seperti ini, hanya menghabiskan uang saja saya lihat.

Seharusnya bagaimana?

Pemerintah, khususnya SBY sebagai pemimpin, harusnya bisa menempatkan diri sebagai pemimpin dan negarawan. Harus bersikap tegas dan cermat dalam mengambil keputusan agar diikuti pembantu-pembantunya. Perlu kearifan yang dikawinkan dengan ketegasan. Kalau sudah begini baru bisa jalan agenda bangsa. Membangun perekonomian, taat hukum, dan semuanya. Sekarang kan hanya seperti memperlihatkan kearifan saja, tapi praktiknya banyak yang tidak jalan.

Bagaimana dengan kepemimpinan nasional ke depan?

Yang jelas diperlukan seorang pemimpin bangsa yang negarawan, inilah kenapa kemarin saya mendukung Jusuf Kalla (JK). Saya rasa Pak JK cocok memimpin negeri ini. Lihat saja PMI sekarang, dengan masuknya beliau menjadi semakin bagus. Kinerjanya kelihatan dan ada geliat yang membuat masyarakat bersemangat.

Soal ketidaktegasan pemerintah ini, apakah Buya melihat kekecewaan rakyat juga?

Saya bisa merasakan bahwa rakyat kecewa pada pemerintah. Rakyat kita kuat, bisa berbesar hati, dan tabah menghadapi cobaan. Pernah saya saat makan di warung, ada bapak-bapak petani mengatakan bahwa pemerintah kok lembek dan seperti terlalu menikmati jabatan saja. Saya melihat ucapan ini tulus sehingga bisa saya dengar dengan hati. Artinya rakyat juga banyak kecewa.

Membicarakan eksekutif tidak bisa dipisahkan dengan legislatif. Apakah dalam pandangan Buya DPR sudah menjalankan fungsi dan peran sebagaimana mestinya?

Yah... politisi kita sama saja.Tidak mau belajar untuk memosisikan diri sebagai negarawan. Malah aneh-aneh saja kelakuannya. Pergi ke Yunani belajar etika, ke Austria atau ke mana lagi. Padahal kan zaman sekarang sudah canggih. Buka internet saja sudah keluar semua ilmu-ilmu etika dari Yunani. Mau etika Aristoteles, Socrates juga ada.

Bila dikaji, sebenarnya apa yang mendasari perilaku sebagian besar politisi seperti itu?

Ya karena politisi kita terlalu berpikir pragmatis. Ini mungkin ada kaitan juga dengan sistem demokrasi kita melalui pilkada dan pemilu. Biayanya kan mahal sekali untuk itu. Kemudian soal partai kadang juga berpikir pragmatis saja. Memikirkan kepentingan sesaat.

Berarti pemimpin dan pejabat kita harus dirombak?

Sikap dan gaya memimpinnya yang harus diubah. Kita, Indonesia, butuh pemimpin yang lebih cerdas dan memimpin dengan hati. Kita butuh sosok negarawan yang pintar dan berani. Memadukan kecerdasan dan hati serta ketegasan. Pemimpin dan pejabat yang mengambil keputusan harus peka terhadap segalanya.

Termasuk soal penegakan hukum yang masih amburdul, perlukah perombakan radikal?

Lihat saja mafia hukum merajalela. Korupsi seperti penyakit kambuhan yang makin parah. Tapi ya itu tadi, tidak ada langkah maju dari pemerintah dan DPR untuk mengatasi ini. Dulu tahun 2002 KPK dibentuk untuk mengambil alih penegakan hukum korupsi yang tidak bisa dijalankan kepolisian dan kejaksaan. Tapi saya tidak mengerti kenapa sekarang lembaga KPK malah mau dilemahkan kewenangannya. Jadi kesimpulan saya, tidak ada konsistensi terhadap pembangunan bangsa kita ini.

Tapi kan banyak juga pengambil kebijakan kita yang berasal dari kalangan partai-partai Islam?

Partai-partai Islam tidak ada bedanya dengan partai lain, terutama terkait kelakuan anggota partainya. Ini terjadi karena proses internalisasi nilai agama kepada para anggota dan kader partai Islam tidak ada. Ini harus dievaluasi. Masalah negara kita sudah parah sekali. Belum selesai ini, muncul penganiayaan TKI di negara lain. Rasanya sakit hati kita karena bangsa kita seperti tidak punya martabat.

Sebagai tokoh agama yang dikenal pluralis, bagaimana Buya melihat banyaknya kekerasan dalam beragama atau yang mengatasnamakan agama?

Itu memang PR kita sebagai negara demokratis. Kita sudah sepakat melihat dan menghormati perbedaan sebagai kekayaan negara. Seharusnya semua pihak menjadikan pemahaman agama sebagai rahmatan lil alamiin.Tidak merusak, tidak anarkistis. Kita harus bertoleransi terhadap sesama dan hidup berdampingan tanpa saling melecehkan. Pemahaman ini yang ingin selalu saya sampaikan.

Tapi kondisi ideal tak selalu terjadi. Misalnya, kasus Ahmadiyah?

Itu menurut saya karena belum ada keputusan tegas dari pemerintah terhadap masalah Ahmadiyah ini. Menteri Agama bilang dibubarkan, tapi yang lain bilang tidak. Selain itu, kasus Ahmadiyah ini kan memiliki dimensi internasional juga seperti tekanan dari Kerajaan Arab Saudi, kemudian pengaruh India juga ada. Cukup kompleks memang.

Ahmadiyah itu sebenarnya bagaimana?

Teologi Ahmadiyah saya tidak mengerti benar ya. Saya tidak suka teologi mereka. Tapi asal mereka tidak mengganggu, kenapa harus dikerasi? Di sisi lain mereka (Ahmadiyah) juga salah karena terlalu eksklusif. Tidak mau terbuka dalam pergaulan sehingga banyak juga pihak yang marah karena itu. Saya meminta agar ada ketegasan saja dari pemerintah, Kementerian Agama terutama. Bagaimana status Ahmadiyah ini. Kalau jelas kan masyarakat tidak akan main hakim sendiri.

Buya sering dikatakan sebagai penganut Islam liberal. Bagaimana merespons ini?

Haha… saya biasa dibilang liberal, bahkan ada yang bilang antek Zionis. Saya tidak masalah karena saya sendiri tahu apa yang saya sampaikan. Sebab dalam pandangan sebagian orang, mungkin saya memang liberal dalam hal agama. Tapi saya tentu memiliki dasar dan landasan untuk memandang Islam sebagai rahmatan lil alamiin.

Berarti soal perdebatan pemikiran biasa terjadi seperti itu?

Memang begitu. Kalau soal tuduhan liberal akibat pemikiran dan pandangan saya, itu tidak ada masalah dan biasa saya alami. Tapi yang tidak bisa diterima adalah kalau saya dituduh melakukan kejahatan. Seperti korupsi, misalnya. Sekarang kan aneh-aneh orang dan kadang tega menuduh seperti itu, padahal ini menyangkut kredibilitas orang lain.

Buya tentu mencermati perdebatan tentang RUU Keistimewaan Yogyakarta yang terus menghangat sekarang ini. Sesungguhnya bagaimana sisi keistimewaan Yogya tersebut?

Saya menilai Presiden SBY kurang arif dan bijaksana saat melontarkan pernyataan terkait keistimewaan Yogyakarta. Apalagi wacana ini muncul pada waktu yang tidak tepat. Karena masih banyak masalah bangsa yang lebih penting, kenapa ini disinggung? Jika permasalahan ini terus dibahas, maka hanya akan menimbulkan pro-kontra yang akhirnya akan menguras tenaga.

Soal monarki atau demokrasi?

Kekuasaan Sultan kan hanya di keraton. Kalau sebagai gubernur kan Sultan juga perwakilan pemerintah pusat yang juga harus tunduk dengan pemerintah pusat. Jadi monarkinya di mana?

Soal serentetan bencana alam yang terjadi di Indonesia, bagaimana menurut Buya?

Negara kita memang dihantam bencana alam bertubi-tubi, ada gempa bumi, longsor, letusan gunung. Itu semua secara intens disiarkan di televisi dan diberitakan di koran-koran.Tapi secara bersamaan juga banyak bencana kasus yang dilakukan manusia. Ada penggelapan pajak, korupsi, yang tidak mau kalah dan tidak habis-habisnya. Pemerintah dan pejabat sepertinya tidak bisa merespons bencana-bencana ini dengan mencari jalan keluar secara cepat.

Dengan berbagai faktor itu, yakinkah Indonesia dapat segera keluar dari berbagai masalah?

Saya orang yang optimistis. Tapi syaratnya ya itu tadi. Semua perubahan dan perbaikan harus dimulai dari pucuk pimpinan. Kalau pimpinan masih tidak tegas dan tangkas bekerja dan memberi arahan, maka masalah bangsa juga lambat selesainya. Kita semua berharap masalah-masalah bangsa cepat selesai.

Kembali ke soal pemikiran-pemikiran Buya, itu tidak lepas dari perjalanan panjang dari tempat kelahiran hingga ke tanah perantauan. Bisa sedikit dikisahkan?

Di kampung, sejak kecil saya termasuk banyak mendapat gemblengan agama Islam yang kuat. Sekolah saya pertama Ibtidaiyah Sumpurkudus (Sumatera Barat). Kemudian merantau ke Yogyakarta, sekolah saya di madrasah muallimin pertama kali merantau. Itu masa-masa rakyat Indonesia susah dan saya merasakan benar bagaimana saat susah itu. Pada zaman penjajahan Belanda juga saya sudah tahu, tapi masih di kampung.

Apakah karena tekad dan keberanian ini yang akhirnya banyak orang Minang sukses?

Kata orang, kan ada tiga tujuan orang Minang merantau, pertama, mencari harta dengan menjadi pedagang, kemudian mencari ilmu, dan ketiga mencari pekerjaan dan menjadi pejabat. Di setiap tujuan. Ini pasti ada yang sukses dan ada juga yang gagal. Nah dalam perantauan ini, memang banyak orang Minang yang berhasil, misalnya menjadi saudagar, pedagang, menjadi pejabat, atau intelektual. Tapi kan tidak sedikit juga yang bisa dibilang tidak berhasil. Jadi sopir angkot, menjadi pencopet juga ada orang Minang. Tergantung nasib.

Hingga saat ini, apakah ada cita-cita yang belum kesampaian? Atau mungkin waktu kecil Buya punya cita-cita berbeda dengan yang sekarang diraih?

Saya ini anak desa.T erpencil pula. Saya lahir di Sumpurkudus , Kabupaten Sijunjung. Ini desa yang terpencil, tidak ada listrik, jalan sulit dan berliku-liku dan itu pada zaman-zaman Indonesia belum merdeka dan negara kita masih muda. Jangankan cita-cita besar, nonton TV atau baca koran saja mungkin tidak tahu saya dulu. Orang dari kampung, menjadi pedagang di tingkat kecamatan saja mungkin sudah prestasi besar dalam pikiran saya waktu kecil.

Kabarnya, kisah liku-liku hidup Buya ini akan dibuat film. Kisahnya menarik, termasuk seperti cerita buku “si anak panah”?

Kalau soal ini (film) saya tidak tahu, makanya saya tidak bisa berkomentar. Itu kerjaannya teman-teman di Maarif Institute. Tanya kepada mereka saja. Saya tidak ikut soal film.

Aktivitas keseharian sekarang ini lebih banyak di mana?

Kadang saya di Yogyakarta. Rumah saya kan di sana dan banyak kegiatan saya di sana. Di Jakarta juga sering. Bahkan dalam seminggu saya sering bolak-balik Yogya– Jakarta. Makanya, poin bayaran saya kalau mau dipikir untuk di pesawat Garuda sangat banyak. Hahaha….

Lebih senang di Jakarta atau Yogyakarta?

Kalau soal kenyamanan, Yogya tentu masih lebih segar. Kalau Jakarta sudah banyak polusi, macet. Malah saya kira lama-lama sudah tidak layak Ibu Kota kalau terus begini. Karena itu saya cenderung melihat bahwa peluang jika Ibu Kota dipindah sangat besar. Tentunya secara bertahap dan pelan-pelan. Beda kalau di Yogya, rumah saya memang di sana yang saya tempati sejak merantau dulu, di daerah Nogotirto, Gamping.

Punya rencana pensiun dari semua aktivitas?

Saya biasa bekerja mengalir saja.Nanti kalau sudah saatnya kan pasti berhenti juga. Kalau sekarang kanmulai mengurangi dulu. Banyak sekali undangan dan permintaan mengisi seminar, mengajar. Tapi banyak yang saya tolak. Pengurangan seperti itu yang saya lakukan.

Terakhir, bagaimana agar Indonesia segera berubah?

Saya berharap pemerintah bekerja dengan baik, tegas, dan benar- benar demi kebaikan bangsa. Bekerja dengan pikiran dan hati. Kemudian rakyat Indonesia juga harus mengabdi dengan jalan apa saja.Pengabdian itu kan bisa dilakukan dengan profesi apa saja. Niatkan ibadah dan ikhlas.

Nama : Prof Dr Syafii Maarif
Lahir : Sumpurkudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935
Agama : Islam
Istri : Hajjah Nurkholifah
Pendidikan :
1. SR Sumpurkudus 1947
2. Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpurkudus
3. Madrasah Muallimin Muhammadiyah Lintau
4. Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta 1956
5. Fakultas Sejarah dan Kebudayaan Universitas Cokroaminoto, Surakarta, 1964
6. Jurusan Sejarah IKIP Yogyakarta, 1968
7. Jurusan Sejarah Ohio University, Amerika Serikat, MA, 1980
8. Pemikiran Islam, Universitas Chicago, Amerika Serikat, Ph.D, 1983(Koran SI/Koran SI/mbs)

sumber : http://news.okezone.com/

Artikel Terkait



0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...