skip to main | skip to sidebar

Pages

Jumat, 03 Desember 2010

Perubahan Sosial Melalui Program Pemberdayaan Masyarakat

Tulisan ini merupakan sebuah perspektif perubahan sosial yang melandasi kerangka berpikir logis pelaksanaan sebuah program perberdayaan dalam hal ini adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-Perdesaan).

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan, merupakan program pemerintah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan membangun kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan. Artinya pemulihan hak-hak masyarakat dalam pembangunan menjadi koridor pencapaian tujuan. Dengan demikian pulihnya hak-hak masyarakat dalam pembangunan di setiap desa lokasi PNPM Mandiri Perdesaan merupakan suatu proses yang menunjukkan tercapai tidaknya tujuan program.

Proses dan koridor tersebut telah menempatkan PNPM Mandiri Perdesaan menggunakan perubahan sosial sebagai perspektif yang melandasi kerangka berpikir logis pelaksanaannya. Menurut Selo Sumarjan, Perubahan Sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Tekanan pada definisi tersebut terletak pada lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia, perubahan-perubahan mana kemudian mempengaruhi segi-segi struktur masyarakat lainnya. Perubahan sosial kadang juga disebut dengan perubahan kebudayaan. Perubahan kebudayaan adalah suatu perubahan yang terjadi terhadap unsur-unsur kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan tersebut yakni sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian/ekonomi, sistem religi, bahasa dan kesenian.

Ditinjau dari prosesnya, perubahan sosial dapat dibagi ke dalam dua bentuk yaitu perubahan dikehendaki atau direncanakan dan perubahan tidak dikehendaki atau tidak direncanakan. Perubahan dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang direncanakan oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat. Pihak-pihak yang menghendaki dan melakukan perubahan dinamakan agen perubahan (agent of change). Agen perubahan ‘memimpin’ masyarakat dalam mengubah sistem sosial. Dalam melaksanakannya agen perubahan tersangkut dalam tekanan-tekanan untuk mengadakan perubahan. Bahkan mungkin menyiapkan pula perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan yang dikehendaki atau direncanakan selalu berada di bawah pengendalian atau pengawasan agen perubahan tersebut. Cara-cara mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu sering dinamakan perencanaan sosial (social planning).

Berbeda dengan perubahan yang direncanakan, perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan merupakan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki berlangsung di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat. Perubahan yang tidak direncanakan ini secara tidak disadari terkadang juga menyertai perubahan yang direncanakan.

Salah satu bentuk perubahan yang dikehendaki atau direncanakan adalah Pembangunan Sosial. Meminjam definisi dari James Midgley, pembangunan sosial adalah: “a process of planned social change designed to promote well-being of the populatioan as a whole in conjunction with a dynamic process of development” (suatu proses perubahan sosial yang terencana yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sebagai suatu keutuhan, pembangunan ini dilakukan untuk saling melengkapi dengan dinamika proses pembangunan ekonomi).

Pembangunan sosial lebih berorientasi pada prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat ketimbang pertumbuhan ekonomi. Beberapa program yang menjadi pusat pehatian pembangunan sosial mencakup pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, perumahan, dan pengentasan kemiskinan. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pembangunan sosial lebih luas dari pembangunan ekonomi. Sesuai dengan definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa PNPM Mandiri Perdesaan merupakan suatu proses perubahan sosial yang direncanakan oleh pemerintah melalui pembangunan sosial.

Perubahan Sosial Terencana

Melalui perspektif perubahan sosial terencana, PNPM Mandiri Perdesaan ‘membawa’ seperangkat sistem nilai, sistem pengetahuan, konsep-konsep dan tata aturan yang terlingkup dalam sistem pembangunan desa partisipatif yang diusungnya. Hakekat dari sebuah sistem, sistem pembangunan desa partisipatif terdiri dari subsistem (unsur-unsur) yang masing-masing mempunyai fungsi dan saling berhubungan, untuk menunjang berfungsinya sistem yang lebih besar secara keseluruhan yaitu sistem pembangunan desa. Sistem pembangunan tersebut pada prakteknya diabstraksikan melalui sistem sosial. Sistem sosial adalah aktivitas-aktivitas anggota suatu masyarakat yang berinteraksi, berhubungan dari waktu ke waktu yang berpola mantap berdasarkan tata aturan tertentu. Sistem sosial tersebut dilingkupi oleh sistem nilai, sistem norma yang menata tindakan dan perilaku masyarakat dalam berinteraksi di dalamnya untuk mewujudkan tujuannya.

Dalam operasionalisasinya, PNPM Mandiri Perdesaan menginisiasi pembentukan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang menjadi subsistem yang menopang berjalannya sistem tersebut. Lembaga kemasyarakatan yang dimaksud mengacu pada suatu bentuk sekaligus mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut. Dalam menyebut lembaga kemasyarakatan ini terkadang juga dipakai istilah lembaga sosial.

Selanjutnya untuk memfungsikannya dibentuk aturan atau norma-norma berdasarkan kesepakatan berlandaskan konsepsi dan nilai-nilai yang terkandung dalam PNPM Mandiri Perdesaan (prinsip-prinsip, misalnya partisipasi, transparansi, akuntabilitas, kesetaraan gender, dan pemihakan kepada masyarakat miskin), yang menjadi acuan bagi pelaku untuk mengatur tindakan dan perilaku masyarakat yang berinteraksi di dalamnya. Norma-norma berupa kesepakatan-kesepakatan tersebut dibangun melalui proses musyawarah, lagi-lagi musyawarah yang dilakukan dilingkupi oleh nilai-nilai itu.

Dengan pendekatan pemberdayaan yang digunakan, perubahan-perubahan diharapkan terjadi seiring dengan kemampuan masyarakat dalam mengelola sumber daya yang ada (dalam dan luar desa) untuk mengatasi persoalan yang dihadapi. Rangkaian proses program yang dimanifestasikan dalam bentuk berbagai forum musyawarah yang dilembagakan, melalui perencanaan, pelaksanaan, pemantauan maupun melestarikan hasil kegiatan, merupakan arena mempraktekkan serangkaian tindakan dan perilaku yang dituntut oleh sistem nilai dan norma program. Praktek ini adakalanya dilakukan secara berulang (siklus) agar menjadi suatu kebiasaan bagi masyarakat dan berpola mantap.

Terkadang untuk ‘mengikat’ anggota masyarakat agar norma tertentu atau tata aturan tersebut ditaati, maka melalui intervensi dilakukan pula upaya peningkatan kesadaran moral. Tata aturan yang dibentuk dijadikan sarana menumbuhkan rasa tunduk dengan pemberlakuan sanksi yang dapat menciptakan “rasa takut” jika melanggarnya. Pembiasaan mentaati tata aturan merupakan cikal bakal untuk menumbuhkan “rasa malu” melanggar norma. Rasa takut dan malu ini lebih lanjut diharapkan menumbuhkan adanya “rasa bersalah” baik secara individual maupun kolektif. Misalnya di dalam pelaksanaan program, masyarakat menyepakti sanksi bagi kelompok Simpan Pinjam khusus Perempuan (SPP) di suatu desa untuk ditunda penyaluran dana pergulirannya jika ada kelompok SPP di desa tersebut yang masih menunggak, Pinjaman akan digulirkan jika dalam jangka waktu tertentu kelompok yang menunggak tersebut sudah menyelesaikannya. Adanya sanksi di tataran masyarakat membuat individu atau kelompok tersebut merasa malu dan bersalah kepada kelompok lain dan masyarakat desa secara keseluruhan. Dengan demikian mereka akan menyelesaikan kewajibannya, dalam kasus ini biasanya sistem tanggung renteng yang diterapkan dalam kelompok akan menjalankan fungsinya.

Suatu norma atau aturan setelah mengalami suatu proses, pada akhirnya akan menjadi bagian tertentu dari lembaga kemasyarakatan. Proses ini dikenal dengan proses pelembagaan (institutionalization), yaitu suatu proses yang dilewatkan oleh suatu norma tertentu untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan. Artinya sampai norma itu oleh masyarakat dikenal, diakui, dihargai dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari.

Proses Pelembagaan

Suatu konsepsi, nilai-nilai dan norma tertentu dikatakan telah melembaga (institutionalized), apabila konsepsi, nilai-nilai dan norma tersebut telah: 1) diketahui, 2) pahami atau dimengerti, 3) ditaati, dan 4) dihargai. Pada tahap awal, norma-norma tertentu tersebut sudah mulai melembaga apabila telah diketahui oleh masyarakat, namun pada tahap ini taraf pelembagaannya adalah rendah. Taraf pelembagaan suatu norma akan meningkat apabila suatu norma dimengerti oleh masyarakat, dengan artian perilakunya diatur oleh norma tersebut.

Selanjutnya apabila anggota masyarakat sudah memahami norma-norma yang mengatur kehidupan bersamanya, maka akan timbul kecenderungan untuk mentaatinya. Pentaatan tersebut merupakan perkembangan selanjutnya dari proses pelembagaan suatu norma. Apabila norma sudah diketahui, dimengerti dan ditaati, maka tidak mustahil bahwa norma tersebut akan dihargai. Penghargaan tersebut merupakan kelanjutan proses pelembagaan pada taraf yang lebih tinggi. Proses pelembagaan ini sebenarnya tidak berhenti demikian saja, namun dapat berlangsung lebih jauh lagi hingga suatu norma kemasyarakatan tidak hanya menjadi institutionalized dalam masyarakat tetapi menjadi internalized. Artinya suatu taraf dimana para anggota masyarakat dengan sendirinya ingin berperilaku sejalan perilaku yang memang sebenarnya memenuhi kebutuhan masyarakat, dengan perkataan lain norma-norma tadi sudah mendarah daging (internalized).

Proses yang dilewati suatu norma tertentu, sehingga menjadi ‘milik’ suatu masyarakat dan menjadi acuan bagi anggotanya untuk berperilaku dinamakan juga dengan sosialisasi. Sosialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses ‘belajar’ seseorang anggota masyarakat untuk mengenal dan memahami nilai-nilai, sistem pengetahuan, sistem norma masyarakat sehingga terjadi pembentukan sikap untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan atau perilaku masyarakatnya.

Mengacu pada pengertian tersebut, maka proses sosialisasi diawali dari seseorang mengenal sistem nilai, sistem norma dan sistem pengetahuan masyarakatnya, kemudian memahaminya lalu mentaati serta menghargainya sehingga menjadi acuan untuk bersikap dan berprilaku sesuai dengan apa yang gariskan oleh sistem nilai dan sistem norma tersebut. Seseorang anggota masyarakat memperolehnya melalui suatu proses pembelajaran sosial.

Proses pembelajaran sosial terjadi melalui dua cara, (1) meniru perilaku orang lain, dan (2) dikondisikan. Pada cara pertama dengan meniru perilaku orang lain, atau dikenal juga dengan nama “observational learning”. Intinya adalah bahwa perilaku seseorang anggota masyarakat diperoleh melalui proses peniruan perilaku orang lain. Seorang anggota masyarakat meniru perilaku orang lain karena konsekuensi yang diterima oleh orang lain yang menampilkan perilaku tersebut positif, dalam pandangan individu tadi. Jika kita ingin mensosialisasikan hidup secara teratur dan disiplin, maka caranya adalah dengan memberikan contoh. Di samping itu bisa juga menciptakan model yang layak untuk ditiru.

Pada cara kedua pembelajaran tersebut dikondisikan, dengan maksud agar seseorang anggota masyarakat bertindak dan berperilaku sesuai dengan tuntutan masyarakatnya. Perilaku yang sekarang ditampilkan merupakan hasil konsekuensi positif atau negatif dari perilaku yang sama sebelumnya. Seseorang anggota masyarakat akan dipuji dan menerima ‘penghargaan’ jika memunculkan bentuk perilaku tertentu. Dengan demikian jika generasi awal ingin melestarikan berbagai bentuk perilaku kepada generasi sesudahnya, maka kepada setiap perilaku yang dianggap perlu dilestarikan harus

diberikan ‘imbalan’, atau sebaliknya dengan ‘memberi hukuman’ merupakan cara untuk menghilangkan perilaku tertentu.

Dalam konteks PNPM Mandiri Perdesaan, yang merupakan suatu program pembangunan sosial yang membawa suatu perubahan dalam masyarakat, maka perubahan tersebut dilakukan diawali dengan cara ‘menanamkan’ konsepsi, sistem nilai, sistem norma, sistem pengetahuan dan sistem sosial yang ‘baru’ yang menyertai sistem pembangunan desa partisipatif dengan menggunakan pendekatan pembelajaran sosial.

Dalam prosesnya, konsepsi, sistem nilai, sistem norma dan sistem sosial tersebut diperkenalkan kepada warga masyarakat dengan mengkomunikasikannya melalui berbagai media diantara media yang digunakan adalah melalui pertemuan formal-informal, praktek-praktek sosial dan dukungan media lainnya (seperti panduan, petunjuk teknis, paket informasi, poster, leaflet, flipchart) yang disebarluaskan kepada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat mengetahui dan memahami berbagai informasi seperti konsepsi, nilai-nilai, prosedur dan aturan program.

Selanjutnya di tataran masyarakat, melalui suatu proses tahapan yang dikondisikan, masyarakat diharapkan memperoleh pembelajaran melalui praktek-praktek sosial, forum-forum musyawarah, yang mana masyarakat saling berinteraksi memainkan peran di dalamnya dalam rangka pemenuhan tuntutan sesuai konsepsi, nilai-nilai dan sistem norma program. Proses-proses interaksi ini yang pada akhirnya membentuk suatu sistem sosial ‘baru’ yang menempatkan kesamaan hak dan kewajiban setiap warga masyarakat dalam pembangunan desa.

Sehubungan dengan hal itu, pengembangan teknik dan prosedur dalam melaksanakan suatu kegiatan merupakan salah satu cara dalam mewujudkan konsepsi, nilai-nilai dan norma agar menjadi tindakan yang sesuai dengan nilai budaya yang dibawa program. Misalnya, di dalam musyawarah perencanaan di desa, yang merupakan media pembelajaran bagi masyarakat yang ‘dilembagakan’ dalam proses pengambilan keputusan perencanaan pembangunan desa, teknik dan prosedur yang dikembangkan bertujuan untuk menjamin konsepsi dan nilai-nilai program seperti musyawarah dalam pengambilan keputusan, keterlibatan aktif semua lapisan masyarakat (terutama masyarakat miskin), transparansi dan akuntabilitas dapat berjalan.

Tantangan

Praktek-praktek sosial dalam kerangka PNPM Mandiri Perdesaan dibiasakan dalam aktivitas pembangunan desa. Dalam hal ini masyarakat bertindak sebagai subjek pembangunan desanya. Perlu diakui bahwa proses yang dijalankan tidak selalu berjalan lancar, banyak hambatan dalam melembagakan sistem tersebut. Dalam hal ini, pelaku-pelaku program yang menjadi ‘agen perubahan’ dituntut untuk memainkan peran dan fungsi sesuai status yang melekat pada dirinya. Peran dan fungsi tersebut harus dimainkan sesuai dengan nilai-nilai dan norma program. Sebagai contoh seorang fasilitator yang merupakan salah satu agen perubahan yang membawa konsepsi, sistem nilai dan sistem norma program ke dalam kehidupan masyarakat, seyogyanya tercermin dalam pemikiran, sikap dan perilakunya dalam pelaksanaan dan berinteraksi dengan masyarakat. Kesesuaian antara konsepsi, sistem nilai dan norma dengan prilaku atau tindakan fasilitator mempengaruhi pelembagaan sistem pembangunan desa dimaksud.

Diakui memang bahwa sistem pembangunan desa partisipatif tersebut tidak serta merta melembaga sejalan dengan pelaksanaan program, namun berlangsung secara bertahap. Berhasil tidaknya proses pelembagaan tergantung dari efektivitas penanamannya.

Soejono Soekanto (1990) menjelaskan bahwa efektivitas menanam merupakan hasil positif penggunaan tenaga manusia, alat, organisasi dan metode di dalam menanamkan lembaga baru. Semakin besar kemampuan tenaga manusia, alat-alat yang dipakai oleh organisasi yang tertibnya dan sistem penanaman sesuai dengan kebudayaan masyarakat makin besar pula hasil yang dapat dicapai oleh usaha penanaman lembaga baru itu. Akan tetapi usaha menanamkan sesuatu unsur yang baru seringkali mengalami reaksi dari beberapa golongan masyarakat yang dirugikan. Kekuatan menentang masyarakat tersebut mempunyai pengaruh negatif terhadap kemungkinan berhasilnya proses pelembagaan (institutionalization).

Dengan demikian jelaslah bahwa apabila efektivitas menanam kecil, sedangkan kekuatan menentang masyarakat besar maka kemungkinan suksesnya proses pelembagaan menjadi kecil atau mungkin malah hilang sama sekali. Sebaliknya apabila efektivitas menanam besar dan kekuatan menentang masyarakat kecil maka jalannya proses pelembagaan menjadi lancar. Berdasarkan hubungan timbal balik antara kedua faktor yang berpangaruh positif dan negatif itu, orang bisa menambahkan kelancaran proses pelembagaan dengan memperbesar efektivitas menanam dan atau mengurangi kekuatan menentang masyarakat. Perlu diperhatikan bahwa penggunaan kekuasaan untuk mengurangi kekuatan menentang masyarakat biasanya malah memperbesar kekuatan tersebut. Hanya saja tentu ada kemungkinan bahwa kekuatan menentang tidak menjelma menjadi aksi ke luar akan tetapi meresap ke dalam jiwa dalam bentuk dendam atau benci. Perasaan demikian juga menghambat berhasilnya proses pelembagaan.

Di samping pengaruh positif dan negatif itu ada pula pengaruh dari faktor ketiga, yaitu faktor kecepatan menanam. Artinya adalah panjang atau pendeknya jangka waktu menanam itu dilakukan dan diharapkan memberikan hasil. Semakin tergesa-gesa orang berusaha menanam dan semakin cepat pula mengharapkan hasilnya, semakin tipis efeknya pelembagaannya dalam masyarakat. Sebaliknya makin tenang orang berusaha menanam dan semakin cukup waktu yang diperhitungkan untuk menimbulkan hasil dari usahanya, semakin besar hasilnya atau sebaliknya.

Efek kecepatan usaha menanam tersebut, sebenarnya tidak dapat dilihat tersendiri, akan tetapi selalu harus dihubungkan dengan faktor efektivitas menanamnya. Apabila penambahan kecepatan menanam disertai dengan usaha menambah efektivitas, maka hasilnya proses pelembagaan tidak akan berkurang. Hasil akan berkurang jika kecepatan menanam saja yang ditambah tanpa memperbesar efektivitasnya. Apabila kecepatan menanam diulur-ulur sampai tidak ada batas waktunya sama sekali, maka kecenderungan pada efektivitas menanam menjadi berkurang, karena kurang atau tidak ada dorongan untuk mencapai hasil.

Pertanyaannnya sekarang adalah bagaimana proses penanaman konsepsi, nilai-nilai dan norma-norma program yang telah kita dilakukan? (hs)

Ditulis oleh : Hendry Syafaruddin
Konsultan NMC, IEC Specialist, PNPM Perdesaan

sumber : http://www.pnpm-mandiri.org/

Artikel Terkait



0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...