skip to main | skip to sidebar

Pages

Senin, 07 Februari 2011

Pendidikan Dalam Sastra

Perkembangan dunia pendidikan tidak lepas dari peran dunia sastra dalam menempatkan memanusiakan manusia dalam mengembangkan seluruh kreativitas. Mengingat tanpa sastra, ilmu pengetahuan tidak akan berkembang seperti Julius Verse yang memperkenalkan teknologi dan ilmu pengetahuan melalui karya 80 days around the world dan Aldous Huxley dengan The Brave New World.

Pembelajaran sastra di Indonesia

Sejatinya pendidikan formal bertujuan untuk membebaskan manusia dari kunkungan kebodohan. Dengan kata lain melalui pendidikan formal, manusia dapat berpikir ilmiah dan rasional sehingga meninggalkan kepercayaan yang bersifat mitos dan tahayul. Mirisnya masalah pendidikan di Indonesia yang terlihat seperti topeng kepura-puraan. Peranan anak didik tidak lagi bersifat emansipatoris namun lebih terikat dengan tuntutan instutional atau aturan-aturan yang cendrung menanamkan “kematian karakter” bukan sebagai memanusiakan manusia. Berbeloknya arah pendidikan kearah pragmatis nan bersifat materialis sehingga melenyapkan tujuan pendidikan emansipatoris yang bertujuan untuk melepaskan manusia dari kunkungan kebodohan.

Realitasnya, pengajaran sastra lebih cendrung di anak tirikan. Dari dulu hingga sekarang sastra tidak akan pernah mati, sebab sastra dapat memperhalus jiwa dan memberikan motivasi bagi si pembaca dalam menjalani hidup.



Sastra adalah solusi

Dari sebuah makalah yang berjudul: “Masalah Pendidikan Di Prancis Dalam Karya Rabelais, Montaige, dan Rousseu” ditulis oleh Ida Sundari Husein. Memaparkan tentang karya yang pernah diterbitkan pada abad 16,17, dan 18, gagasan mengenai reformasi pendidikan muncul pertama kali melalui karya sastra. Dimulai oleh Francois Rabelais dalam dongeng Pantagruel (1532) dan Gargantua (1534). Ia menaruh besar dalam menerjemahkan Herodotus, pakar sejarah ke dalam bahasa Latin. Mendalami sastra dan budaya Yunani dan Romawi yang merupakan sumber kebudayaan Eropa. Karyanya Gargantua (1534) yang berisi mengenai serangan gamblang atas kefanatikan La Sorbbone dilanjutkan dengan Pantagruel memiliki latar belakang sama namun ini merupakan bentuk parodi keadaan sosial budaya yang persis sama dengan realitas pada masa itu; kehidupan mahasiswa,petani, dan rohaniwan yang dikenal baik oleh pengarangnya. Karangannya mengandung kenangan pribadi dan alusi sejarah setempat. Di samping gagasannya tentang pendidikan, kritik terhadap peperangan, kemalasan keagamaan, dan serangan terhadap ahli-ahli teologi Sorbonne.

Gambaran tentang pendidikan dalam karangannya berjudul Gargantua (1534) yang menceritakan tentang cacat sistem pendidikan yang panjang dan rumit, semata-mata dari buku, tanpa hubungan yang sebenarnya dengan kehidupan nyata atau pengetahuan tentang alam dan kehidupan. Diutamakan kemampuan mengingat bukan nalar. Akhirnya, membuat murid sinting, konyol, dan bengong. Melihat kenyataannya itu ayah Grandgouser; ayah Gargantua, marah besar dan memutuskan untuk mengirim anaknya ke Paris dan belajar dibawah guru bernama Ponocrates (artinya rajin). Mula-mula anak-anak “dibersihkan” oleh dokter, agar melupakan kebiasaan jelek dan semua yang dipelajari. Baru diperkenalkan dengan sistem baru agar pembinaan pikiran dan jiwa sesuai dengan perkembangan jiwanya. Gargantua dididik untuk menjadi seorang humanis yang mempelajari berbagai jenis ilmu pengetahuan. Ia lansung belajar dari kehidupan praktis sehari-hari bukan teori. Pengalaman pribadi menjadi peranan utama. Si anak harus belajar dari benda-benda, fakta-fakta dari alam, selain itu juga praktek kerja seperti bertani, pandai besi, dan percetakan. Rabelais berprinsip bahwa “kepala yang baik kualitasnya adalah benar-benar penuh.”

Montaigne (1533-1559) menghabiskan waktunya diperpustakaan sehingga ia berhasil menerbitkan sebuah buku dari hasil renungannya pada tahun 1580 yang berjudul “Essais De Messire Michel, Seigneur De Montaigne,” yang berisi pikiran-pikiran atas reaksi terhadap pengalaman hidupnya. Tokohnya ialah dirinya sendiri. Yang dikemukakan pengalaman yang tidak menggembirakan, lalu menawarkan cara mendidik yang dianggap berguna. Bab-bab ini berisi tentang renungan pribadi. Ia berbicara tentang hidupnya, pengalaman-pengalamannya,dan penyakit-penyakit yang dideritanya, namun aspeknya lebih umum, secara pribadi pembaca dapat merenungkan masalah manusia yang universal. “Tout Homme porte en soi un exemplaire de l’humain condition” (pada diri setiap orang ada sisi manusia yang berlaku umum) (Montaigne, 1580;1).

Dengan menceritakan tentang diri sendiri ia membahas secara mendalam, ia membicarakan seni hidup, dokrin politik, dan juga program pendidikan. Menurut Montaigne, pendapatnya hampir sama dengan Rabelais. Ia mengkritik sistem pendidikan yang dipaksakan dan mementingkan pengetahuan hafalan. Ia merintis pendidikan individual yang bebas, dengan tekanan kritis. Selain teori, murid harus melakukan observasi lansung dengan benda-benda, dan kontak lansung dengan kehidupan manusia yang sebenarnya.Sesungguhnya, pendidikan tidak bertujuan untuk menghasilkan ilmuwan atau spesialis, tetapi manusia yang memiliki nalar dan pikiran yang terbuka, memiliki penilaian yang adil, dan mampu tampil dihadapan masyarakat. Karena itu pelajaran sains dipelajari setelah filsafat, yang mampu menilai dan mengenal manusia dan diri sendiri. Anak didik tidak perlu mempelajari banyak hal, yang diperlukan adalah kemampuan berpikir, pengembangan kemampuan nalar dan kepribadian.

J.J. Rossaeu (1712-1778) sukses besar dalam tulisannya yang berjudul Discours sur les sciences et les art (risalah tentang sains dan seni, 1750) mendapat penghargaan dari Academie De Dijon. Dalam karyanya ia berpendapat bahwa manusia itu dilahirkan baik namun peradabanlah yang mengubahnya. Karyanya yang lain yang memaparkan tentang kesenjangan sosial yang berjudul Discours l’origine de l’egalite, ia mempertentangkan kebaikan manusia yang alami dengan kesenjangan sosial manusia masa itu. Manusia diciptakan menyendiri masyarakatlah yang merupakan sumber keburukan dan yang merusaknya pada dasarnya manusia itu setara, namun kehidupan sosial menimbulkan kesenjangan politik dan kesenjangan dalam pembagian kekayaan. Disamping membuat essai, ia juga membuat karya fiksi diantaranya La Noveulle Helosse (1761) memaparkan gagasan tentang konsep rumah tangga, nilai moral. Selain itu dalam essainya yang berjudul La Noveulle Helosse memaparkan tentang masalah agama, teater, dan pendidikan. Rosseu berpendapat bahwa alam berpengaruh terhadap emosi manusia. Ada hubungan misterius antara alam dengan manusia. Menurut pembaca buku tersebut menyatakan bahwa dengan membaca karya Rosseau telah mengubah kehidupan dan pola piker masyarakat saat itu. (elsa)

Elsya Crownia, Mahasiswi Sastra Inggris, Unand.

sumber : http://www.morzing.com/

Artikel Terkait



0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...