Keraton Kasunanan Surakarta
Bangunan itu masih terlihat megah. Sejak pertama menyusuri komplek Keraton Surakarta Hadiningrat melalui Alun-alun Utara--memasuki bagian Sitihinggil, Gerbang Kori Brojonolo, Kori Kamandungan, Kori Sri Manganti, hingga ke Pelataran Kedaton--masih terlihat jelas jejak-jejak kemegahan arsitektural bangunan yang didirikan sejak 1744 itu.
Keraton ini turut diarsiteki oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I, yang juga mendesain Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Tak heran bila masing-masing elemen arsitektur bangunan itu sama-sama memiliki makna simbolis. Misalnya saja, sebuah cermin besar yang ditempatkan di pintu gerbang Kori Kamandungan, bermakna agar para pengunjung bercermin dan berintrospeksi sebelum masuk ke dalam Keraton.
Namun, bila diperhatikan secara seksama, beberapa sudut bangunan di Keraton Surakarta sudah terlihat rusak. Kulit-kulit tembok mengelupas serta lumut menghiasi beberapa bagian tembok. Tubuh keraton yang rompal di sana-sini serta pilar-pilar kayu yang mulai mengeropos, jelas menandai memudarnya kharisma dan wajah Keraton Surakarta yang dulu merupakan salah satu bangunan yang paling eksotik di masanya.
“Bisa dibilang 50 persen bangunan Keraton Surakarta rusak parah. Entah itu dindingnya mengelupas atau kosong dan tidak terawat, “ ujar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Puger, putra Pakubuwono XII, kepada VIVAnews.com.
KGPH Puger menjelaskan beberapa bangunan yang rusak, di antaranya adalah tempat-tempat yang sering digunakan untuk kegiatan kerajaan, kampung-kampung abdi dalem, Kali Putri, Keputren, dan Kampung Kepatihan.
Ini menjelaskan bagaimana Keraton Surakarta terseok-seok untuk bertahan di tengah gerusan zaman, karena tak punya biaya menghidupi dirinya sendiri.
"Kalau dari keraton sendiri, jelas tidak bisa. Nah, sekarang kami dari mana sumber pendanaannya? Kalau hanya mengandalkan dari pemasukan obyek wisata, jelas sangat-sangat kurang, “ katanya.
Menurut KGPH Puger, keraton memang tidak memiliki dana untuk merawat bangunan yang berdiri di tanah seluas 70 hektare itu. Apalagi pasca bergabungnya keraton ke pangkuan Republik Indonesia, semua aset kekayaan milik keraton termasuk tanah dan perusahaan, telah dinasionalisasi oleh negara.
“Dulu, kami punya perusahaan air minum, perkebunan, pertanian, pajak, kereta api, gula dan bangunan-bangunan yang sekarang dijadikan untuk kepentingan pemerintah NKRI,” ujar KGPH Puger. Saat masih milik keraton, perusahaan-perusahaan itu menjadi penopang untuk membiayai kebutuhan keraton.
Proses penyerahan aset itu sendiri, kata dia, diambil atas inisatif Pakubuwono XII untuk ikut membantu NKRI. “Negara ini beruntung. Dulu tidak punya apa-apa, tapi kemudian dibantu oleh kerajaan-kerajaan di Indonesia untuk menopangnya,” ia menerangkan.
Awalnya, kata dia, Keraton Surakarta menitipkan asetnya kepada NKRI agar dimanfaatkan dengan sistem bagi hasil. "Namun, lama kelamaan Sinuhun ditinggal begitu saja," ia mengeluhkan. Padahal, keraton masih harus membiaya perawatan keraton, upacara-upacara tradisional, serta menggaji para abdi dalem.
Kekuasaan Kasunanan pun semakin menyusut seiring bergabungnya mereka dengan NKRI. Alhasil, kata dia, pihak keraton tak mampu membiayai ongkos perawatan keraton yang notabene adalah bangunan peninggalan budaya yang musti dilindungi.
Bangunan keraton yang dulu menjadi tempat tinggal abdi dalem, kini kosong dan tak terawat, karena sudah tidak ditempati lagi. Jangankan merawat bangunan, untuk menggaji abdi dalem saja, KGPH Puger mengatakan, tidak mencukupi.
Kondisi serupa kurang lebih juga dialami oleh keraton-keraton dan kerajaan-kerajaan lain. Misalnya saja keraton Kanoman Cirebon, yang kondisinya tak kalah memprihatinkan.
Pintu gerbang Keraton Kanoman yang biasa dibuka saat acara Grebeg Syawal terlihat telah memudar warnanya. Suasana di dalam bangunan utama keraton juga dipenuhi dinding berlapis lumut. Benda-benda yang dipajang di museum, ornamen ukiran, banyak yang tak terawat, kusam dan berdebu. Eternit lapuk, bahkan ada juga yang sudah jebol.
Belum lagi pembangunan kota yang tak memperhatikan aspek tata ruang, sehingga lokasi Keraton Kanoman tersembunyi dan dikelilingi bangunan-bangunan lain. Untuk masuk ke Keraton Kanoman, pengunjung musti masuk dari Pasar Kanoman yang terkesan kumuh dan penuh para pedagang.
Praktis, kini keraton-keraton mengandalkan dana dari pemerintah untuk membiayai hidupnya. Keraton Surakarta, misalnya, mendapatkan subsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan operasional, termasuk untuk membayar listrik telepon dan air.
Pada 2010, Keraton Surakarta mendapatkan anggaran sebesar Rp300 juta untuk biaya operasional. Namun tak semua keluarga kerajaan di masa lalu mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Misalnya saja, Puri Agung Pemecutan, yang merupakan sisa kerajaan yang berlokasi di Denpasar Bali. Menurut Anak Agung Ngurah Putra Darma Nuraga, yang merupakan keturunan dari Raja Pemecutan, puri mereka sama sekali tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah.
Padahal, Puri Agung kerap kali mengadakan berbagai upacara untuk melestarikan adat dan tradisi mereka. "Di Bali tak pernah ada bantuan dari pemerintah untuk puri-puri. Sebagaimanapun besarnya upacara yang dilakukan, semuanya dana dari keluarga kami sendiri. Tidak ada sesen pun dana bantuan pemerintah,” kata dia kepada VIVAnews.com.
Padahal, kata dia, awal dari pemerintahan modern NKRI semua berawal dari dukungan kerajaan-kerajaan termasuk dari Bali. “Terbentuknya NKRI tidak terlepas dari peran kerajaan itu sendiri," katanya.
Keluarga puri, ia menjelaskan, tidak memiliki uang untuk mengembangkan purinya. "Inilah yang harus diperhatikan pemerintah. Janganlah memperhatikan pemerintahannya saja, namun cikal bakal NKRI diabaikan.”
Mirisnya lagi, kendati beberapa keraton mendapatkan subsidi dari pemerintah, terkadang hal itu juga tak sepenuhnya mengatasi permasalahan yang dihadapi. Pertengahan September lalu, berbagai media massa mengungkap kabar yang menyedihkan: Keraton Surakarta menunggak biaya listrik selama tiga bulan.
Oleh pihak PLN, Keraton Surakarta dinyatakan menunggak pembayaran tagihan listrik sebesar Rp30 juta antara Juli-September 2010. Aliran listrik ke Keraton sempat diancam diputus oleh PLN. Pihak DPRD sempat mempertanyakan pengelolaan dana dari pemerintah oleh keraton. Namun, pihak keraton mengatakan bahwa tunggakan ini terjadi akibat telatnya pencairan dana dari pemerintah.
Apapun alasanya, kabar ini sudah pasti akan semakin menjatuhkan wibawa keraton di mata masyarakat. Sepertinya, keraton-keraton dan kerajaan yang ada di nusantara, khususnya yang tak memiliki kekuasaan eksekutif seperti Keraton Yogyakarta, memang menghadapi tantangan yang berat untuk bisa terus bertahan di zaman modern. (Laporan: Fajar Sodiq dan Peni Widarti | kd)
sumber : VIVAnews