Ketika membuka referensi tentang berbagai kota romantis di berbagai penjuru dunia, baik cetak maupun online, Roma selalu menjadi bagian yang tidak akan terlewatkan. Kota ini seakan telah menjadi bagian dari bayangan sebuah tempat dengan suasana syahdu yang cocok untuk menjadi tujuan para pasangan yang ingin memadu kasih. Menariknya, secara etimologi, kata ‘romance’ ternyata erat kaitannya dengan kota ini setelah melalui berbagai pengembangan istilah dan makna baik dalam bahasa Inggris maupun Perancis.
Suasana Roma cukup cerah di sore hari ketika saya tiba di kota itu melalui Termini, salah satu stasiun kereta api terbesar di Eropa yang setiap tahunnya dikunjungi lebih dari seratus juta komuter dan turis. Setelah sebelumnya melewatkan empat hari yang berkesan di Interlaken, kota diantara dua danau di kawasan pegunungan Alpen, kini saya berada di salah salah satu pusat peradaban dunia yang berada di kawasan selatan benua terkecil di dunia ini. Dalam perjalanan saya sempat singgah di Milan selama beberapa jam untuk mengetahui pesona salah satu kota mode dunia ini. Kini, saya telah sampai di salah satu kota tercantik dunia yang menjadi lokasi shooting berbagai film romantis, mulai dari Roman Holiday yang dibintangi Audrey Hepburn hingga Eat Pray Love yang fenomenal.
Imaji tentang Roma yang agung telah menjadi doktrin bahkan sejak ratusan tahun yang lalu. Pernah menjadi kota terbesar dunia tempat peradaban barat diciptakan, Roma adalah pusat berkembangnya berbagai ilmu, mulai dari militer hingga sastra. Secara monumental semua kejayaan masa lalu masih dapat disaksikan di berbagai penjuru kota sehingga Anda tidak perlu menjadi ahli sejarah atau penggemar arsitek untuk dapat mengerti gairah yang ditawarkan oleh kota ini karena dengan mudah Anda dapat memaknai kebesaran yang dulu pernah menjadi bagian Roma hanya dengan datang dan mengalaminya sendiri. Kenangan akan keagungan masa lalu seakan telah menyatu dengan keseharian warganya dan romantisme ini telah bersinergi membentuk sebuah pertujukan teaterikal yang sangat menarik untuk disimak.
Kesan yang membekas selamanya, itulah yang ingin saya rasakan ketika untuk pertama kalinya menginjakkan kaki ke kota ini. Keluar dari Stasiun Termini, yang di hari minggu penuh dengan wajah Asia, saya tidak langsung menuju hotel yang telah dipesan. Saya memilih untuk menitipkan tas di sebuah laundry yang menerima jasa penitipan tidak jauh dari pintu utama terminal. Melewati berbagai restoran dan penginapan budget yang penuh dengan wisatawan dan backpackers dari seluruh penjuru dunia, saya sempatkan mampir sebentar untuk mengisi perut di sebuah restoran kebab yang dikelola oleh sebuah keluarga keturunan Timur Tengah. Jangan takut, saya tidak memesan potongan kambing panggang yang dibungkus dengan semacam kulit pangsit melainkan membeli sepotong pizza Margherita dengan ukuran yang cukup besar dan sekaleng diet Coke yang menyegarkan.
Sekarang saatnya untuk mengunjungi dua tempat paling romantis di Roma, Piazza di Spagna dan Fontana di Trevi. Keduanya terletak cukup berdekatan sehingga dapat dijangkau hanya dengan berjalan kaki. Berbekal tiket biglietto giornaliero seharga 4 Euro yang berlaku satu hari penuh untuk semua sarana transportasi masal, melalui stasiun Metro Termini saya menggunakan kereta bawah tanah untuk menjangkau stasiun Spagna. Dalam suasana stasiun yang cukup gelap, tidak sebenderang stasiun kereta bawah tanah di Hong Kong atau Singapura, para komuter berbaur dengan turis mancanegara yang tampaknya memiliki tujuan sama. Tidak berapa lama, hanya melewati sekitar dua stasiun, akhirnya kereta pun tiba di stasiun tujuan.
(Baca artikel lengkapnya di Majalah Panorama Edisi XXI Januari Februari 2011)
sumber : http://readpanorama.com/artikel/romantic-rome
0 comments:
Posting Komentar