Perekonomian 2010 sebetulnya berada dalam kondisi yang menguntungkan bagi perekonomian Indonesia. Pertama, perekonomian global secara umum menunjukkan tren membaik sehingga terdapat peluang bagi Indonesia memanfaatkan situasi tersebut, misalnya melalui ekspor.
Kedua, modal asing mengalir deras ke pasar domestik (capital inflow) sehingga secara teoretis perekonomian nasional mendapatkan keuntungan seperti ekspansi korporasi atau mendongkrak investasi di sektor riil.
Ketiga, stabilitas makroekonomi domestik terjaga dengan baik sehingga terbuka oportunitas untuk mengurus soal-soal yang lebih mikro seperti penguatan daya saing.
Peluang-peluang itu sebagian bisa dimanfaatkan, namun sebagian besar justru menguap, bahkan menjadi masalah karena ketidaksiapan pemerintah menggunakan kesempatan tersebut. Hasilnya, portofolio ekonomi domestik tidak banyak mengalami perbaikan berarti.
Inefisiensi Birokrasi
Keterlambatan pemerintah yang paling mencolok adalah perbaikan pembangunan infrastruktur dan kapabilitas birokrasi untuk mendukung investasi. Daya saing perekonomian pada 2010 mengalami perbaikan yang berarti, yakni dari peringkat 54 ke 44 (menurut versi WEF), tapi hal itu tidak diikuti perbaikan pada aspek pembangunan infrastruktur dan kapabilitas birokrasi.
Studi WEF 2010 juga menyatakan bahwa hambatan investasi terbesar Indonesia berturut-turut adalah inefisiensi birokrasi, korupsi, dan keterbatasan infrastruktur.
Ditambah dengan kebijakan ekonomi dalam negeri yang kurang menguntungkan, seperti kenaikan tarif dasar listrik pada Juli 2010, membuat kemampuan daya saing produk di pasar internasional menjadi merosot. Untungnya pasar komoditas primer, misalnya kelapa sawit, sedang bagus sehingga mendongkrak nilai ekspor dan membuat neraca perdagangan tetap positif.
Keterlambatan pemerintah memperbaiki mesin birokrasi dan membangun infrastruktur juga berakibat modal asing yang masuk terperangkap di sektor keuangan (SBI dan SUN).
Akibatnya, capital inflow itu bukan menjadi berkah, tapi kutukan. Disebut kutukan karena modal asing itu tidak dapat menggerakkan sektor riil (akibat infrastruktur dan birokrasi yang tidak mendukung), serta membebani sektor keuangan (membayar bunga tinggi).
Bank Indonesia (BI) sampai akhir tahun ini diperkirakan defisit sebesar Rp30 triliun, yaitu antara lain defisit itu berasal dari pembayaran bunga SBI. Modal asing yang deras itu juga menyebabkan penguatan nilai tukar rupiah, yang dalam beberapa hal juga membuat daya saing komoditas nasional menjadi lebih merosot.
Jadi, modal asing yang masuk ke pasar domestik itu lebih banyak menciptakan masalah ketimbang manfaat, sehingga tahun depan mestinya mendapatkan perhatian lebih saksama dari pemerintah.
Sementara itu, kebijakan domestik untuk membangun ekonomi yang benar-benar melayani kepentingan sebagian besar masyarakat tidak juga segera dimulai. Sektor tradeable (pertanian, industri, dan pertambangan) yang menjadi tumpuan sebagian besar hidup masyarakat tumbuh sangat lemah, misalnya pada kuartal I 2010 hanya tumbuh 3,4 persen, kuartal II-2010 3,8 persen, dan kuartal III 2010 2,1 persen.
Sebaliknya, sektor non-tradeable melesat dengan pertumbuhan kuartal I 8,3 persen, kuartal II 8,8 persen, dan kuartal III 8,1 persen (BPS,2010). Kesenjangan pertumbuhan ini berakibat sangat serius karena menjadi sumber pengangguran dan ketimpangan kesejahteraan.
Sektor non-tradeable memiliki ciri padat modal sehingga pertumbuhannya tidak banyak menyerap tenaga kerja. Ini membuat program pengurangan pengangguran (pro-job) menjadi sulit direalisasikan. Berikutnya, kesenjangan pendapatan makin terjadi karena yang tumbuh hanya sektor nontradeable yang dihuni oleh sedikit tenaga kerja.
Navigasi Solusi
Seterusnya, problem klasik lain yang tidak mengalami perbaikan adalah penurunan kemiskinan. Pada 2009 pemerintah menganggarkan dana Rp66 triliun untuk mengurangi kemiskinan, sementara pada 2010 angkanya mencapai Rp94 triliun.
Namun, dari 2009 ke 2010 persentase kemiskinan hanya turun dari 14,2 persen menjadi 13,3 persen. Bahkan di pedesaan persentase kemiskinan meningkat. Dengan anggaran sebesar itu jumlah penduduk miskin yang berhasil dientaskan hanya turun sangat sedikit. Kalkulasi yang dilakukan LIPI (2010) menunjukkan rata-rata setiap penduduk miskin mendapat dana sebesar Rp47 juta.
Tentu ini menjadi pertanyaan besar, ke mana saja larinya anggaran itu? Secara teoretis, dengan dana sebesar itu mestinya jumlah penduduk miskin dapat dikurangi dalam jumlah yang besar.
Faktor korupsi dan ketidakjelasan konsep pengurangan kemiskinan diduga menjadi penyebab utama menguapnya anggaran tersebut. Melihat neraca ekonomi 2010 tersebut, bisa dikatakan kita gagal memanfaatkan peluang yang baik buat mendongkrak perekonomian nasional.
Pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan berada pada kisaran enam persen tidak banyak menimbulkan manfaat bagi masyarakat akibat situasi seperti yang dijelaskan di muka. Karena itu, pada 2011 perlu ada perubahan besar-besaran agar struktur perekonomian mengalami perbaikan yang berarti.
Pertama, pembangunan infrastruktur dan efisiensi birokrasi harus menjadi agenda prioritas demi menyelamatkan investasi. Reformasi birokrasi harus dipacu lebih kencang jika ingin ada dukungan yang berarti bagi kegiatan ekonomi. Kedua, dukungan kepada tradeable sektor harus makin ditunjukkan, baik ditopang dengan kebijakan fiskal maupun nonfiskal.
Tanpa pertumbuhan besar di sektor tradeable mustahil pengurangan kemiskinan dan pengangguran dapat dicapai. Ketiga, bank sentral dan pemerintah perlu duduk bersama merumuskan pembatasan capital inflow sehingga tidak menjadi racun perekonomian.
Insentif bunga yang sangat tinggi, misalnya SBI yang mencapai 6,5 persen, menjadi salah satu motif terbesar masuknya modal asing ke Indonesia, di samping tidak bagusnya dukungan di sektor riil. BI dan pemerintah perlu mencari jalan keluar pembatasan, misalnya dengan pemajakan atau regulasi pemanjangan waktu beli jual (minimal satu tahun).
Alternatif lain yang bisa dipertimbangkan adalah percepatan pembayaran utang (luar negeri) di saat nilai tukar sedang menguat seperti sekarang. BI saat ini memiliki cadangan devisa hampir USD100 miliar, sehingga cukup memadai jika sebagian dipakai untuk membayar utang.
Tidak ada gunanya juga jika cadangan devisa hanya ditumpuk tanpa dipakai untuk hal yang bermanfaat. Beberapa solusi ini bisa dimatangkan untuk memastikan tahun depan kita tidak akan membuang kesempatan bagus lagi yang ada di depan mata.(*)
Ahmad Erani Yustika
Direktur Eksekutif Indef,
Dosen FE Universitas Brawijaya
sumber : http://economy.okezone.com/
0 comments:
Posting Komentar