Bila dibaca ulang buku-buku teks ekonomi yang menjadi rujukan standar dalam berbagai kajian akademis, kita akan paham betapa mazhab pemikiran ekonomi itu sangat bervariasi dalam melihat salah satu masalah kritikal pembangunan: kemiskinan.
Para penganut aliran neoklasik memahami kemiskinan sebagai one-dimensional income shortfall. Mereka berpandangan, yang dijadikan ukuran tunggal kemiskinan adalah kekurangan atau ketiadaan pendapatan karena seseorang tak punya pekerjaan.
Dengan demikian, orang itu tak menghasilkan uang sebagai penghasilan tetap untuk membiayai kehidupan terutama konsumsi dan kebutuhan dasar yang lain. Masih terkait dengan isu ini, disparitas pendapatan di antara kelompok-kelompok masyarakat juga merefleksikan tingkat kemiskinan karena tidak semua orang dapat memperoleh akses ke sumber- sumber ekonomi produktif secara merata.
Karena itu, mazhab pemikiran neoklasik menawarkan solusi tunggal: memacu pertumbuhan ekonomi. Aliran neoklasik—yang melahirkan genre baru pemikiran ekonomi neoliberal—melihat kemiskinan sebagai masalah residual belaka, yang otomatis akan lenyap bila ada pertumbuhan ekonomi yang berlangsung konstan.
Adapun pertumbuhan akan terpacu bila perekonomian bertumpu pada pasar terbuka melalui jalan liberalisasi. Mazhab neoliberal mengusung dua kredo kunci: (1) pasar merupakan mekanisme transaksi ekonomi paling efisien, dan (2) membatasi peran negara pada tingkat paling minimal.
Maka, ekonomi diharapkan dapat tumbuh maksimal melalui berbagai aktivitas bisnis dan perdagangan, sehingga membuka lapangan pekerjaan yang secara alamiah akan mengurangi kemiskinan.
Asimetris
Namun, hal mendasar yang acapkali diabaikan oleh para pengusung mazhab neoliberal adalah kenyataan tidak ada pasar yang sempurna karena dua hal: (1) penguasaan kapital oleh suatu kelompok yang sangat dominan, dan (2) ketidaksetaraan informasi di antara para pelaku pasar.
Kedua faktor ini melahirkan monopoli oleh sekelompok pemilik modal yang menggenggam informasi, sehingga melahirkan ketimpangan yang berdampak pada ketidakmerataan akses ke sumber daya ekonomi produktif.
Mekanisme pasar tidak selamanya bekerja otomatis berdasarkan prinsip-prinsip efisiensi, yang diagungkan para pemeluk mazhab neoliberal. Struktur pasar mengandung elemen-elemen kekuatan ekonomi-politik yang monopolistik terutama dari korporasi besar.
Kekuatan monopolistik sangat determinan dalam kaitan dengan permintaan dan penawaran, sekaligus penetapan harga barang sehingga pasar bekerja atas kontrol para pemilik modal.
Maka, kritik pun mengalir karena para penganut mazhab neoliberal lebih mengutamakan kebijakan makroekonomi belaka. Mereka cenderung mengabaikan kebijakan sosial terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik paling dasar.
Kebijakan untuk kedua sektor ekonomi dan sosial—bahkan diletakkan pada posisi terpisah, yang seolah tak berkaitan satu sama lain. Proses pembuatan kebijakan pun ditempuh dengan pendekatan khas neoklasik: leader-follower hierarchy model.
Model ini menempatkan kebijakan makroekonomi pada posisi terdepan dan determinan, sedangkan kebijakan sosial ditempatkan pada posisi paling ujung untuk mengatasi dampak sosial ikutan.
Model kebijakan inilah yang dianut dan menjadi arus utama di lembaga keuangan internasional, Bank Dunia dan IMF, kemudian diterapkan di banyak negara yang punya ketergantungan finansial pada kedua lembaga itu.
Banyak ahli ekonomi yang menjadi kritikus mazhab neoliberal karena paham pemikiran ini dinilai sangat bias pasar dan menjadikan pasar sebagai jalan tunggal untuk menghapus kemiskinan sekaligus sendi dasar kebijakan makroekonomi.
Para kritikus itu berargumen bahwa ikhtiar mengatasi kemiskinan harus dilakukan dengan memadukan kebijakan makroekonomi dan kebijakan sosial untuk menciptakan sinergi antarsektor pembangunan.
Yang pertama, diarahkan untuk mendorong pertumbuhan dan yang kedua dimaksudkan untuk memberi landasan yang kuat bagi pelayanan sosial dasar (lihat Santosh Mehrotra & Enrique Delamonica, Eliminating Human Poverty: Macroeconomic and Social Policies for Equitable Growth, 2007).
Pengalaman Pahit
Dalam konteks Indonesia, kita punya pengalaman getir saat terjadi krisis ekonomi dahsyat tahun 1997. IMF membuat rekomendasi kebijakan makroekonomi: penutupan 16 bank nasional dan pengucuran dana BLBI untuk menyangga sektor perbankan yang terguncang hebat akibat krisis moneter.
Kita semua merasakan betapa implikasi sosial dari kebijakan itu amat luas dan mendasar. Warisan masalahnya bahkan amat kompleks yang tak kunjung selesai setelah melampaui lebih dari satu dekade di bawah empat presiden!
Ratusan triliun uang negara dikemplang obligor kakap, APBN terbebani kewajiban membayar utang dalam porsi besar yang menggerus anggaran untuk sektor sosial. Saksikan, tak terbilang jumlah sekolah yang rusak dan roboh, fasilitas pendidikan sangat terbatas; rumah sakit tak mampu memberi pelayanan kesehatan bagi orang miskin secara manusiawi, harga obat tak terjangkau.
Tak terhitung jumlah balita yang menderita gizi buruk karena orangtua tak mampu membeli susu dan makanan bernutrisi; petani tak semangat bercocok tanam karena hasil panen tak sepadan dengan ongkos yang dikeluarkan; nelayan enggan melaut karena harga solar mahal; dan kaum buruh bermandi peluh namun tetap berupah murah.
Masih banyak daftar panjang implikasi kebijakan makroekonomi yang mengabaikan sektor sosial dengan merujuk “resep dokter” Bank Dunia dan IMF.
Mengutip ekonom sekaligus kritikus kedua badan keuangan dunia itu, Atkinson (1999), “Sungguh tak masuk akal bila kebijakan stabilisasi makroekonomi ditentukan oleh lembaga Bretton Woods, sedangkan dampak sosial-ikutannya harus diatasi oleh badan lain.
Kritik ini sungguh pedas dan telak karena menohok jantung institusi finansial internasional, yang selalu menawarkan kebijakan makroekonomi sebagai tumpuan utama dalam mengatasi masalah sosial-ekonomi di suatu negara yang berkarakteristik khas.
Kebijakan Terpadu
Maka, sudah waktunya kita meninggalkan leader-follower hierarchy model untuk segera diganti dengan kebijakan terpadu: makroekonomi-sektor sosial. Kebijakan terpadu ini lebih berorientasi pada kesinambungan jangka panjang sebagai strategi mengatasi kemiskinan.
Pemberantasan kemiskinan harus dimulai dengan mengurai akar masalahnya, sehingga intervensi kebijakan pun dapat ditujukan langsung untuk mengatasi biang penyebab kemiskinan itu.
Sebab, akar kemiskinan bukan semata menyangkut disparitas pendapatan atau ketiadaan lapangan pekerjaan. Maka, kebijakan strategis pada lingkup sektor sosial yang paling pokok adalah: pemerataan akses pendidikan, perluasan pelayanan kesehatan, perbaikan gizi anak balita, penyediaan pangan, air bersih, dan sanitasi, serta pengendalian pertumbuhan penduduk.
Ke semua ini merupakan sektor pembangunan sosial penting, yang berdampak langsung pada pembangunan ekonomi, terutama sektor pendidikan dan kesehatan. Karena itu, kedua sektor pembangunan ini—bersama dengan sektor ekonomi—juga menjadi indikator pokok dalam Human Development Index Report.
Untuk itu, belanja negara guna membiayai sektor sosial perlu ditingkatkan secara inkremental, dengan tetap mempertimbangkan proporsi pengeluaran publik untuk sektor infrastruktur ekonomi.
Prioritas anggaran belanja untuk sektor infrastruktur tentu harus tetap dipertahankan guna menggerakkan kegiatan ekonomi produktif. Kita maklum bahwa dengan infrastruktur yang baik, maka transaksi ekonomi dan lalu lintas barang dalam perniagaan dapat berlangsung lancar.
Dengan demikian, pembangunan ekonomi akan bergerak dinamis yang ditandai oleh tingkat pertumbuhan yang positif. Perekonomian yang tumbuh niscaya akan berdampak pada kemampuan negara dalam mengalokasikan anggaran untuk membiayai pembangunan sosial.
Banyak kajian ilmiah dan bukti empiris menunjukkan bahwa investasi untuk pembangunan sosial bukan saja merupakan medium efektif untuk mengatasi kemiskinan, melainkan juga dapat memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.
Ini jelas merupakan pertautan yang bersifat sinergis dengan merujuk paradigma baru: social development is basically economic development. Pembangunan sosial memang semestinya tak dipisahkan dari pembangunan ekonomi.(*)
Amich Alhumami
Peneliti Sosial Department of Anthropology University of Sussex, UK
sumber: http://economy.okezone.com/
0 comments:
Posting Komentar