Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (VIVAnews/Tri Saputro)
10 tahun lalu, masalah birokrasi dan infrastruktur itu sudah muncul, sekarang masih sama
VIVAnews - Pengamat Ekonomi dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unika Atmajaya, Prasetyantoko tidak terlalu optimistis bahwa Indonesia akan menjadi negara berkekuatan besar di bidang ekonomi dalam 10 tahun mendatang. Prasetyantoko memperkirakan tahun depan, ekonomi Indonesia masih akan jalan di tempat dan mempersoalkan masalah yang itu-itu saja.
Kekhawatiran ini muncul didasari fakta dan janji pemerintah yang tidak kunjung diselesaikan. "Sepuluh tahun lalu, masalah birokrasi dan infrastruktur itu sudah muncul, tapi kenapa sekarang persoalannya masih sama. Saya khawatir 5-10 tahun lagi masalah itu masih akan sama, harusnya tidak begitu," kata Prasetyantoko dalam seminar outlook ekonomi dan prospek sektor riil 2011 di LKBN Antara, Rabu 15 Desember 2010.
Prasetyantoko setuju atas terbitnya beberapa laporan lembaga riset yang menyatakan Indonesia sudah bisa disandingkan dengan China dan India. Ia juga sepakat dengan laporan Standard Chartered Bank yang menyebutkan Indonesia bisa melampui Jepang pada 2030.
Contohnya laporan Indonesia yang positif itu berasal dari Morgan Stanley yang menyebut Indonesia bisa masuk di jajaran negara BRIC, Laporan Standard Chartered Bank Indonesia sebagai power house di Asia dan dari The Economist yang menyebut Indonesia sebagai golden opportunity.
Tak hanya itu, Japan Credit Rating Agency Ltd per Juli 2010 juga menaikkan Indonesia pada level investment grade, sedang Moodys menaikkan Indonesia sampai tinggal dua tingkat sebelum investment grade, sedang S&P menempatkan Indonesia tinggal 1 tingkat sebelum investment grade.
"Itu tidak salah dan memang kita ada potensi itu," katanya. Sebagai buktinya, Prasetyantoko mengatakan pertumbuhan Indonesia bisa mencapai 6 persen karena permintaan yang terus tumbuh. Pertumbuhan tinggi ini karena didukung penduduk Indonesia yang besar dan kekayaan alam melimpah.
Yang sangat disayangkan adalah sisi fiskal yang lambat terlihat dari eksekusi anggaran pemerintah pada tahun ini sangat rendah. Padahal untuk meningkatkan ekonomi secara riil, kapasitas pemerintah untuk menstimulus industri riil tidak bisa ditawar lagi.
"Pak Sofyan Wanandi (Asosiasi Pengusaha Indonesia) menyatakan, pemerintah kita gagal mengaktualisasikan potensi ekonomi yang besar itu. Ini beda dengan China dan India yang pemerintahnya bisa langsung mengakselerasi signifikan," kata dia.
Untuk itu, kata Prasetyantoko, pemerintah harus melakukan sesuatu yang nyata untuk mendorong industri riil. "Kebijakan fiskal jelas, itu keputusannya," katanya. Sementara dari sisi moneter, Bank Indonesia juga perlu mendukung dengan memastikan bagaimana kebijakan moneter dan perbankan di Indonesia.
Bila tidak, Prasetyantoko tidak yakin lembaga rating internasional akan segera menaikkan Indonesia ke level investement grade. Pasalnya selain mempertimbangkan potensi Indonesia dalam jangka pendek, lembaga rating itu juga mempertimbangkan sustainability Indonesia dalam jangka panjang.
"Saya rasa seperti Moodys tidak akan menaikan, S&P juga, itu karena kita bagus untuk jangka pendek tapi untuk jangka panjang masih paradoks karena belum dijawab dengan kebijakan yang diperbaiki," kata dia.
Prasetyantoko kembali mengulang alasan utama itu adalah bagaimana masalah infrastruktur dan birokrasi selalu jadi alasan klasik. Ia juga berpendapat tingkat persaingan yang diklaim pemerintah baik juga bukan merupakan representasi atas kebijakan yang telah stabil itu.
"Daya saing kita yang naik dari 54 menjadi 44, itu karena didorong stabilitas makro. Selebihnya soal infrastruktur dan birokrasi masih sama. Tidak meningkat. Ini yang membuat sesuatu itu temporer atau belum pasti," katanya. "Jadi bagaimana posisi kita dalam jangka panjang itu masih tanda tanya. Ini karena potensi domestik yang tinggi, realisasinya dari pemerintah masih dipertanyakan. Kuncinya hanya bagaimana kebijakan itu solid dan sustain sehingga bisa akurat."
• VIVAnews
0 comments:
Posting Komentar