Oleh Isyana Artharini
Jejaring tangga kayu mengisi panggung Grha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, malam itu. Di kanan penonton, nampak sebuah sel. Lalu muncul sesosok pria mengenakan kemeja tanpa kerah berwarna gading dan celana longgar warna cokelat muda. Ia dikawal sekelompok tentara lalu dimasukkan ke dalam sel.
Sepanjang pertunjukan opera esei Tan Malaka, sosok pria dalam penjara itu nantinya hanya akan sesekali menimpali berbagai aksi (sunyi) yang terjadi di panggung. Dan seperti sosok Tan Malaka yang asli, ia hadir dalam berbagai keriuhan itu, cuma berada di pinggiran. Nyaris tak terlihat, hampir terlupakan.
Serdadu-serdadu kemudian berderap maju ke panggung. Berlanjut dengan anggota Paduan Suara Mahasiswa Universitas Indonesia yang muncul, membawa buku dan mengenakan helm-helm konstruksi. Mereka saling mengoper buku, bergerak berpindah tempat, lalu baru bernyanyi.
nti dari pagelaran opera esei yang disutradarai Goenawan Mohamad ini sebenarnya adalah sebuah upaya ‘menangkap’ sosok misterius Tan Malaka, menghadirkannya di panggung. Yang jadi masalah, Tan Malaka adalah sosok yang seolah tanpa jejak. Siapa dia sebenarnya sudah menjadi ajang pertarungan antara sejarah, rumor, bahkan sampai pada tahap dongeng.
Lalu bagaimana sosok legenda yang seolah tanpa jejak itu –berdiri antara nyata dan mitos—ditampilkan di panggung buat disaksikan oleh penonton? Lewat bantuan dan gabungan antara koor, tari modern, aria dari dua soprano (Binu Sukarman dan Nyak Ina ‘Ubiet’ Raseuki), seorang narator (Landung Simatupang), pertunjukan video, musik kontemporer, serta reportase jurnalistik.
Kemunculan narator Landung Simatupang memberi konteks akan apa yang terjadi di panggung. Dengan pakaian hitam-hitamnya, caranya yang khas menggeneralisir dengan menggunakan kata ‘kita’, dan fungsinya untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi, ia seperti alterego sang sutradara, Goenawan Mohamad.
Tapi apakah pada akhirnya opera ini berhasil menangkap sosok atau membantu memberi sudut pandang baru dari cara melihat Tan Malaka? Sepertinya tidak. Menambah berbagai macam atraksi tentu (yang sebenarnya cukup sunyi), tapi tak memberi kedalaman baru dalam memaknai Tan Malaka.
sumber : http://id.custom.yahoo.com/paling-indonesia/rujak-artikel/article-masih-mencari-tan-malaka-190
0 comments:
Posting Komentar