Majalah Forbes Edisi 4 September 2004 menempatkannya perempuan kedelapan terkuat dunia. Dia pemimpin berkelas dunia. Seorang pendiam berkepribadian emas. Presiden RI ke-5 ini teguh memegang prinsip, konsisten dan visioner. Dia seorang pejuang sekaligus simbol dan inspirasi reformasi. Perjuangannya menegakkan demokrasi (ketika demokrasi terpasung) telah memicu keberanian tokoh-tokoh lainnya ikut dalam gerbong reformasi, yang kemudian melahirkan tokoh-tokoh dan pahlawan reformasi. Jika jujur, harus diakui bahwa tanpa putri pertama Bung Karno, ini reformasi di negeri ini belum tentu terjadi.
Pengakuan dunia bahwa Megawati Soekarnoputri seorang pemimpin berkelas dunia, tercermin dari posisinya sebagai salah seorang perempuan terkuat dunia. Sebagaimana dipublikasikan Majalah Forbes edisi 6 September 2004, Calon Presiden yang didukung Koalisi Kebangsaan (PDI-P, Partai Golkar, PPP dan PDS) pada Pemilu Presiden putaran kedua 20 September 2004, ini berada di posisi kedelapan dari 100 wanita terkuat dunia.
Dia sejajar dengan perempuan pemimpin berkelas dunia lainnya, seperti Sonia Gandhi (India) urutan ketiga, Presiden Filipina Gloria Arroyo (9), Perdana Menteri Banglades Begum Khaleda Zia (14), Presiden Sri Lanka Chandrika Kumaratunga (44), pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi (45) dan Mantan Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher (21).
Pengakuan ini menggambarkan realitas perjuangan dan kepemimpinan Megawati sangat kuat di mata dunia. Dia pemimpin berkelas dunia. Pengakuan dunia ini, jika mau jujur, sepatutnya mencelikkan mata, akal budi, hati dan nurani setiap orang (baik kawan maupun lawan politik) di dalam negeri, untuk melihat dan mengakui gerak perjuangan dan kepemimpinan Presiden Republik Indonesia kelima ini. Terutama sejak ia berani terjun ke dunia politik saat hak-hak politik di negeri ini terkekang.
Tanpa bermaksud berorientasi menyalahkan masa-masa lalu bangsa ini, Megawati yang pendiam (tak banyak bicara) itu adalah tokoh perempuan pemberani meretas jalan demokrasi dan reformasi saat tokoh-tokoh lainnya (laki atau perempuan) seperti tak punya nyali berhadapan dengan Pak Harto, penguasa Orde Baru selama 32 tahun.
Realitas empirik membuktikan, Megawati yang memiliki kharisma sebagai putri pertama Proklamator Bung Karno, adalah tokoh pemberani yang paling berpengaruh melawan tindakan tidak demokratis dari pemerintah yang cenderung otoriter ketika itu. Saat tokoh-tokoh nasional (termasuk yang kemudian menjadi tokoh dan pahlawan reformasi) masih membungkuk-bungkuk di hadapan Pak Harto, Megawati dengan caranya sendiri, tanpa banyak bicara, secara konsisten telah berani melawan tanpa kekerasan. Dia menempuh jalan demokrasi dan hukum.
Saat tokoh yang lain masih membeo atau diam pasif tak berani, Megawati yang dikekang tampil berani menghadapi berbagai tantangan dan risiko memasuki gelanggang politik dengan segala kemampuan dan keterbatasannya. Dia all out dengan keyakinan untuk menegakkan demokrasi dan reformasi di NKRI ini, tanpa kekerasan dan tanpa balas dendam. (Sikap tanpa balas dendamnya telah pula kemudian disalahartikan banyak politisi dan pengamat sebagai kelemahan untuk merongrong kepemimpinannya).
Cobalah kita sejenak menoleh ke belakang. Siapa-siapa tokoh yang berani melawan Pak Harto sebelum Megawati memukul genderang perlawanan terbuka pada Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya tahun 1993? Hanya sedikit tokoh yang berani bertindak dan bersuara melawan kehendak pemerintah ketika itu.
Barulah setelah Megawati mengadakan perlawanan terbuka terhadap kekuasaan yang represif, nyali tokoh-tokoh lainnya mulai bangkit. Sebagian pada mulanya ikut menambangi, mensupport dan membela perjuangan (perlawanan) Megawati. Dia telah menjadi simbol dan inspirasi perlawanan terhadap kekuasaan yang cenderung otoriter ketika itu. Bukan hanya politisi yang mulai terinspirasi dan terpicu keberaniannya ketika itu, tetapi juga para pengamat yang sebelumnya bungkam atau malah memuja-muji, juga para pengacara dan mahasiswa.
Mereka yang satu garis perjuangan atau tidak dengan Megawati, terinspirasi untuk bangkit bersama. Mereka berkumpul dan berani berorasi menumpahkan segala kemarahan terhadap penguasa yang represif di Kantor DPP PDI Jalan Diponegoro, Jakarta. Keberanian yang dibayar mahal, karena kantor itu diserang aparat dan orang-orang tertentu atas kehendak penguasa. Peristiwa tahun 1996 itu, kemudian dikenal dengan sebutan Kudatuli (Kasus 27 Juli).
Peristiwa itu, tak menyurutkan perlawanan Megawati. Dia sangat sadar bahwa dibutuhkan seorang pemimpin sebagai simbol perlawanan untuk menegakkan demokrasi, keadilan dan kesejahteraan rakyat di negeri ini. Jika dia surut, gerbong perlawanan yang sudah makin membesar di belakangnya itu pun akan berhenti. Jika gerbong perlawanan itu berhenti, maka reformasi pun tidak akan terjadi. Maka dia pun terus berjuang dengan caranya yang tidak banyak bicara, tapi terus melangkah maju ke medan tempur sesengit apa pun dan menghadapi risiko apa pun itu. Dia kuat bahkan sungguh kuat. Dia perempuan keibuan berjiwa emas dan berhati baja.
Kongres Surabaya
Sebagai suatu gambaran betapa teguh dan kuatnya Megawati dalam menghadapi tekanan penguasa ketika itu, tercermin dari cuplikan perjuangannya pada Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya, Desember 1993. Ketika itu, pemerintah menghendaki Budi Hardjono menjadi Ketua Umum DPP PDI menggantikan ’si anak yang mulai nakal’ Surjadi. Tapi, Megawati yang telah membunyikan genderang menyatakan kesediaan memimpin PDI membuat niat pemerintah mendudukkan boneka di tampuk pimpinan PDI menghadapi perlawanan. Si putri pendiam Megawati mendapat dukungan penuh dari hampir semua cabang dalam pemandangan umum. Resminya, juridis formalnya, hanya tinggal menunggu sidang pemilihan ketua umum.
Melihat dukungan mutlak kepada Megawati itu, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri yang berperan sebagai pembina politik dalam negeri bersama Kasospol ABRI dan segenap jajaran Kakan Sospol daerah tingkat I dan II seluruh Indonesia yang juga ’mengawal’ para peserta kongres ke Surabaya, melakukan manuver mengulur-ulur waktu sidang pemilihan ketua umum sampai masa izin kongres berakhir pukul 24.
Suasana di arena kongres ketika itu, sangat tertekan. Aparat keamanan dengan berbagai perlengkapannya sudah lalu lalang dan berjaga-jaga, layaknya siaga mengepung musuh negara. Malam pukul 20.00 saat peserta kongres makin tertekan dan sebagian besar sudah meninggalkan arena kongres, Megawati tetap bertahan di tempat siap mengikuti setiap detik perkembangan. Ketika itu tersiar isu akan terjadi kerusuhan akibat ricuhnya kongres.
Tak lama, seorang aparat dengan naik panser menemui Megawati. Dengan bersikap siap dan sigap sebagai seorang prajurit, aparat berpakaian tempur itu menyampaikan pesan atasan kepada Megawati agar keluar dari arena kongres dengan naik panser demi keamanan. Sejenak Megawati menatap aparat itu, lalu dengan suara tegas mempersilahkan keluar sebentar. Aparat itu menurut berdisiplin.
`Setelah itu, Megawati menitikkan air mata. Dia menangisi nasib bangsanya. Dia tahu bahwa hal itu hanya taktik busuk penguasa yang tanpa sungkan mengebiri demokrasi. Lalu, setelah menghapus air mata, dia meminta si aparat suruhan itu masuk kembali. Dengan berwibawa, tak terkesan baru menitikkan air mata, dia menyatakan sikapnya dengan tegas bahwa apa pun yang terjadi tak akan meninggalkan arena kongres sampai akhir. “Laporkan kepada atasanmu,” katanya tegas layaknya panglima tertinggi.
Kenapa dia menolak ’perlindungan’ aparat itu? Sebab dia pemberani tanpa kekerasan. Dia siap menanggung segala risiko tanpa melawannya dengan kekerasan. Dia menyadari jika meninggalkan arena kongres maka sekali lagi lonceng kematian demokrasi akan berdentang. Bisa saja penguasa akan melakukan sesuatu untuk menyulut kemarahan massa untuk menciptakan kerusuhan yang akan dijadikan sebagai alasan pembunuhan terhadap demokrasi. Selain itu, dia sadar, jika menuruti ’perlindungan’ yang ditawarkan aparat, dia akan diteriakkan meninggalkan kongres yang akan dijadikan alasan gagalnya kongres.
Sekitar pukul 22.00, dua jam sebelum masa izin kongres berakhir, Megawati bangkit melakukan sesuatu yang tak terduga oleh siapa pun, baik petinggi partai yang loyal kepadanya, maupun yang berlawanan dengannya terutama pemerintah. Dia melakukan konfrensi pers. Saat itu, dia mengeluarkan pernyataan politik yang menegaskan bahwa secara de facto dia telah terpilih menjadi Ketua Umum PDI periode 1993-1998. Kemudian secara de jure akan ditetapkan dalam suatu Munas atau sejenisnya di Jakarta dalam waktu dekat. Kepada semua peserta kongres dan para simpatisan dihimbau untuk pulang ke tempat masing-masing dalam suasana damai, tertib dan tenteram.
Pemerintah dan para lawan politiknya terperangah, tak menduga pernyataan politik yang demikian penting dan brilian itu. Tidak ada lagi alasan merekayasa sesuatu untuk dijadikan kambing hitam kerusuhan akibat ricuh dan molornya jadwal kongres itu.
Itulah genderang perlawanan terbuka dari Megawati. Genderang itu tidak hanya disambut oleh kader dan simpatisan PDI Mega, tetapi disambut berbagai lapisan, lintas agama, lintas golongan dan lintas partai (termasuk kader Golkar yang progresif dan ingin menegakkan demokrasi secara sungguh-sungguh).
Kemudian, Munas PDI di Jakarta tahun 1994 pun terselenggara dan mengukuhkan Megawati sebagai Ketua Umum PDI 1993-1998. Pemerintah yang dipimpin seorang jenderal dan ketika itu menggunakan Golkar sebagai alat politik (perpanjangan tangan militer di arena politik) dan terkenal demikian ‘apik’ membentengi kekuasaannya dengan berbagai cara, tampak merasa kecolongan.
Tampak tak menduga si putri pendiam itu akan membunyikan genderang perlawanan. Sehingga kepemimpinan Megawati terus ditekan dan dirongrong. Sampai akhirnya pemerintah berhasil memfasilitasi penyelenggaraan Kongres Luar Biasa PDI di Medan Juni 1996 yang menobatkan kembali Surjadi sebagai Ketua Umum PDI. Namun PDI pimpinan Megawati tak mengakui penyelenggaraan Kongres Luar Biasa di Medan itu. Sehingga timbul kepengurusan ganda PDI di pusat sampai ke daerah.
DPP PDI Mega berkantor di Jalan Diponegoro 57, Menteng, Jakarta Pusat, kantor resmi DPP PDI. Sementara DPP PDI Surjadi atas dukungan pemerintah berupaya merebut kantor tersebut. Maka berduyun-duyunlah orang dari berbagai aliran dan golongan berorasi di kantor itu. Tidak hanya kader dan sipatisan PDI Mega tetapi dari berbagai golongan yang sebelumnya merasa tertekan dan kemudian terpicu keberaniannya melakukan perlawanan terbuka kepada penguasa yang represif.
Lalu, terjadilah Kasus 27 Juli 1996 yang kemudian dikenal dengan sebutan Kudatuli. Perebutan kantor DPP PDI yang memakan banyak korban dan dikira penguasa akan memadamkan keberanian perlawanan Megawati, ternyata malah menyalakan keberanian sebagian besar rakyat, tokoh dan mahasiswa untuk mengadakan perlawanan bersama.
Bangkitlah mahasiswa berdemonstrasi. Hampir seluruh kampus di Indonesia melakukan demonstrasi. Sampai Pemilu 1997, mahasiswa terus demo di dalam kampus. Karena ketika itu, mahasiswa dilarang demonstrasi di luar kampus. Setelah Pemilu 1997, makin banyak pula tokoh yang berani tampil menyuarakan reformasi. Sebagian mereka kemudian digelari sebagai pahlawan reformasi yang bersama mahasiswa memaksa Presiden Soeharto meletakkan jabatan.
Apalagi setelah Presiden Soeharto lengser bertaburanlah tokoh-tokoh reformis, termasuk dari kalangan militer yang menjadi tulang punggung kekuasaan Orde Baru yang militeristik. Bahkan sebagian jenderal yang memegang jabatan penting ketika itu, kemudian menyebut diri sebagai pemimpin menuju perubahan. Mereka menyebut diri reformis tulen dan bahkan dengan lantangnya menyebut Megawati dan tokoh reformis sipil lainnya sebagai reformis abu-abu dan reformis palsu.
Mereka mengklaim bahwa pemerintahan sipil di bawah pemerintahan Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati sangat lemah maka dibutuhkan pemimpin dari jajaran militer. Mereka tampak sudah terlatih melakukan rekayasa, ucapan dan tindakan populis untuk mempengaruhi opini publik demi berkuasanya kembali orang-orang militer di negeri ini.
Beratnya beban ‘sampah’ (krisis multidimensional) warisan penguasa militeristik masa lalu, telah membuat gerak pemerintahan sipil tak mudah bergerak cepat. Hal ini pula diteriakkan para tokoh rekayasa populis untuk mempengaruhi opini publik bahwa seolah pemerintahan sipil tidak mungkin membawa bangsa ini melakukan perubahan menuju kehidupan yang lebih aman, adil dan sejahtera.
Namun, berhasilnya pasangan Mega-Hasyim masuk putaran kedua Pemilihan Presiden 20 September 2004 nanti, telah melahirkan kesadaran bahwa masih sangat banyak orang yang tidak mau terkecoh oleh agitasi, tutur kata yang kedengarannya manis-manis, rekayasa populis, untuk mengembalikan dominasi militer di negeri ini. Rupanya mereka pun secara jernih melihat bahwa pemerintahan sipil adalah pilihan terbaik untuk mencegah bangsa ini kembali ke masa lalu, sekaligus membawa bangsa ini menuju zona demokrasi, damai dan sejahtera.
Pemimpin Berkarakter
Jika makin didalami, Megawati adalah seorang pemimpin berkepribadian kuat. Tak mudah dipengaruhi oleh siapa pun jika tidak sesuai dengan nurani dan visinya tentang cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Baginya visi dan misi para pemimpin bangsa ini tak bisa lain dari visi dan misi yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Perubahan visi dan misi yang berbeda dengan Pembukaan UUD 1945 justru harus dicegah.
Dengan prinsip itu, Megawati tak mau didikte oleh kekuatan mana pun, baik dari dalam negeri apalagi dari luar negeri. Dia dengan lantang menolak tindakan balas dendam Amerika Serikat menyerang Afganistan dan Irak, kendati dia setuju untuk melawan terorisme global.
Dia bertekad ingin membangun hubungan bilateral maupun multilateral dengan bangsa-bangsa di dunia dalam kesetaraan. Hubungan internasional, baginya, adalah mutlak tetapi harus dalam kerangka kepentingan nasional masing-masing dalam kesetaraan. Maka tak heran bila kepemimpinannya yang berkarakter kuat tak disukai negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Bush, yang secara kasat mata tampak membutuhkan pemimpin boneka di negara lain, seperti di Afganistan dan Irak. Sehingga tak heran bila negara maju itu mengorbitkan bahkan mungkin saja mendanai calon pemimpin alternatif yang kemungkinan lebih mudah dikendalikan.
Di dalam negeri, keutuhan NKRI, bagi Megawati merupakan prinsip yang harus dipertahankan para pemimpin bangsa. Dia tidak ingin ada air mata dan satu nyawa pun di negeri ini yang hilang. Sebagaimana terjadi di Aceh, dia ingin tak ada air mata di negeri serambi Mekkah itu. Maka dia pun mengawali penyelesaian Aceh dengan jalan diplomasi damai. Namun, ketika jalan damai itu menemui jalan buntu, dia pun memberlakukan darurat militer. Keputusan yang sesungguhnya sangat berat baginya, tetapi harus ditempuh demi keutuhan NKRI. Itu suatu keputusan seorang perempuan yang kuat.
Kepemimpinnya yang berkarakter kuat dan visioner, terlihat juga dari ‘ketegaannya’ menolak grasi para terpidana mati kasus narkoba. Dia mengaku sebagai seorang ibu, hatinya menangis ketika mengambil keputusan menolak grasi itu. Tapi demi masa depan anak-anak bangsa, dia harus mengambil keputusan yang secara nurani kemanusiaan sesungguhnya tak dikehendakinya.
Selain itu, kepemimpinnya yang berkarakter kuat, terlihat juga dari beberapa keputusannya yang sangat tidak populis. Keputusan mengenai kenaikan harga BBM, misalnya, yang mengikuti standar harga dunia. Beberapa tokoh dan pengamat yang mengandalkan kebijakan populis menentang kebijakan itu yang kemudian ditambangi demonstrasi beberapa kelompok mahasiswa.
Megawati tampak sangat menyadari ketidakpopuleran keputusan soal kenaikan BBM, yang berdampak langsung pada kenaikan harga barang dan jasa lainnya, itu. Tetapi dia kuat dan bersikukuh mengambil keputusan itu untuk membangun kemandirian bangsa ini secara komparatif dan kompetitif dengan bangsa-bangsa di dunia. Baginya, ssudah saatnya subsidi diakhiri dengan mengandalkan pinjaman (utang) luar negeri. Keputusan yang nyaris tak pernah diambil pemerintah sebelumnya, sehingga bangsa ini sulit melepaskan diri dari ketergantungan pada utang luar negeri.
Dia juga seorang yang jujur dan tulus. Antara lain terlihat ketika kampanye Pemilu Legislatif berlangsung, PT Telkom mengumumkan kenaikan tarif. Suatu tindakan naif dari kacamata politik, apalagi dari kacamata pihak yang menabukan kata kenaikan tarif dan menggantinya dengan kata penyesuaian. Tapi dia membiarkan jadual kenaikan itu bergulir apa adanya tanpa harus dipolitisir, misalnya menundanya sampai Pemilu selesai. Jika dipandang dari sudut pemimpin yang piawai merekayasa, tentu ini tindakan yang salah.
Dia juga seorang pemimpin yang berdedikasi dan memiliki loyalitas tinggi kepada komitmen yang telah disepakati. Lihat saja Kabinet Gotong-Royong yang pelangi dan dibentuk atas komitmen bersama lintas partai. Kendati telah nyata-nyata ada di antara menterinya telah menunjukkan sikap mendukung Capres lain, bahkan mungkin ada yang telah mengkhianati kepercayaannya, dia tetap memegang komitmen mempertahankan kabinet pelanginya. Padahal sebagai presiden yang menggenggam hak prerogatif untuk itu, bisa saja dia dengan mudah mengganti menteri-menteri tersebut. Hanya pemimpin berkepribadian kuat yang mampu bersikap seperti itu terhadap orang (menteri) yang bisa saja merongrong kepemimpinannya.
Bukan itu saja! Salah satu keputusannya yang kontroversial dan mengejutkan banyak pihak adalah restunya kepada Sutiyoso untuk terpilih kembali menjabat Gubernur DKI Jakarta. Pada proses pencalonan, Megawati ditekan oleh berbagai pihak agar jangan merestui Sutiyoso yang menjabat Pangdam Jaya saat terjadinya Kasus 27 Juli 1996. Demonstrasi kader dan simpatisan PDI-P marak. Tapi ketika pemilihan berlangsung, demonstrasi simpatisan PDI-P itu berhenti. Mengejutkan para lawan politiknya. Sayang keputusan merestui Sutiyoso ini harus dibayar mahal, sebab Sutiyoso tak tampak berpihak kepada wong cilik. Namun dari kasus ini, sebagai seorang pemimpin, Megawati telah menampakkan sosoknya yang kuat dengan kepribadiannya sendiri.
Dengan intensitas kontroversi yang hampir sama, adalah desakan publik agar dia mengganti Jaksa Agung. Namun, dia seperti tidak terpengaruh dengan masih mempertahankannya. Jika ingin mengambil tindakan populis saja, seorang pemimpin sudah akan mengganti Jaksa Agung itu. Namun, tampaknya Megawati melihat bahwa saat ini Jaksa Agung itu bukan satu-satunya titik lemah penegakan hukum di negeri ini. Menurutnya, banyak kasus korupsi yang telah dilimpahkan kejaksaan ke pengadilan, ternyata di pengadilan divonis bebas.
Bukti lain kepemimpinnya yang berkarakter kuat adalah kerelaannya menerima keputusan politik SU-MPR 2001 yang memenangkan KH Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan keikhlasannya menerima jabatan Wakil Presiden, kendati PDIP sebagai pemenang Pemilu. Hanya saja duet ’bersaudara’ ini tak bertahan lama akibat keteledoran Gus Dur yang tampak terlalu meremehkannya.
Bukan saja Gus Dur yang pernah terkesan meremehkan kemampuan kepemimpinan Megawati. Beberapa politisi dan pengamat juga seringkali menganggapnya lemah dan tak punya visi. Padahal jika dicermati secara jujur, dia seorang pemimpin yang kuat, yang berani mengatakan ya atau tidak pada waktunya. Visioner, konsisten dan tidak mencla-mencle.
Hanya saja, sifat pendiamnya, yang selain merupakan kekuatan juga menjadi kelemahan. Karena terkesan kurang berkomunikasi dengan rakyat. Sehingga lawan-lawan politiknya memanfaatkan sifat pendiam itu sebagai pertanda kelemahan dan ketidakmampuan.
Maka, jika Megawati belakangan ini meningkatkan komunikasi kepada publik adalah suatu bukti pula bahwa dia seorang pemimpin berjiwa besar. Jiwa besarnya, kesabarannya, yang selalu diam tatkala dicaci-maki, makin bercahaya saat dia menyadari kelemahan diamnya, selain merupakan kekuatannya.
Kesetaraan Jender
Megawati adalah sebuah bukti sejarah di mana perempuan mampu memimpin sebuah negeri. Dia memang bukan satu-satunya perempuan Indonesia yang tampil sebagai pemimpin. Pada abad ke-14 Tribuana Tungga Dewi adalah peletak dasar zaman keemasan Majapahit. Sultanah Saifatuddin Syah di Aceh pada abad ke-16-17, merupakan sultan perempuan pertama di negeri beragama Islam itu yang mampu memegang tampuk pemerintahan hingga 35 tahun.
Kini, Megawati diakui dunia sebagai pemimpin perempuan yang kuat dalam ukuran berskala dunia. Bangsa Indonesia, tidak hanya perempuan, patut berbangga. Megawati menunjukkan bahwa perempuan pun berhak dan mampu memimpin suatu negara. Meski isu jender kadang terangkat ke permukaan seiring pencalonannya sebagai presiden, dia menjawab dengan berupaya membuktikan kepemimpinannya mengangkat harkat dan martabat rakyat Indonesia, termasuk kaum perempuan.
Seperti pernah dikemukakannya di dalam seminar nasional “Kepemimpinan Wanita Pada Millenium III” di Universitas Gadjah Mada tahun 1999: “Gerakan penyadaran dan pencerahan akan hak-hak kaum wanita tidak hanya melulu ditujukan kepada masyarakat kaum wanita saja, tetapi lebih jauh lagi justru upaya untuk melakukan pencerahan lebih diintensifkan dan diperlebar ke dalam wilayah kehidupan kaum laki-laki.
Menurut, Megawati, kaum perempuan harus dengan penuh arif dan bijak membantu kaum laki-laki agar mereka dapat bebas dan terbatas dari pola pikir lama yang hanya menempatkan kaum lelaki pada suatu tingkat peradaban yang memprihatinkan. “Dalam melakukan hal ini tidak perlu dijalankan dengan cara-cara yang berdampak melecehkan dan merendahkan martabat kaum laki-laki,” katanya.
Megawati menawarkan suatu strategi yang meletakkan dan memosisikan wanita sebagai ibu bangsa, sebagai ibu masyarakat dan sebagai ibu sejati. Dengan pijakan strategi ini, menurutnya, maka tidak ada alasan bagi kaum wanita untuk melakukan tuntutan-tuntutan yang hanya akan menimbulkan reaksi penolakan dari kaum laki-laki yang masih cenderung berpikir dan berpaling ke belakang.
Megawati juga menganjurkan agar perempuan lebih percaya diri, karena perempuan yang percaya diri tidak pernah gentar untuk bersaing dan menyaingi kaum laki-laki dalam konteks persaingan yang sehat. Sedangkan pria yang percaya diri tidak akan pernah merasa khawatir bila bersaing dan tersaingi oleh seorang wanita.
Keberhasilan Megawati, menurut Rika Saraswati, staf Fakultas Hukum dan anggota Pusat Studi Wanita Unika Soegijapranata Semarang, tidak semata-mata berada di pundaknya, tetapi dipengaruhi juga oleh kinerja orang-orang di sekitarnya, kaum perempuan dan kaum laki-laki.
Pilpres Putaran Kedua
Sebelum Pilpres (Pemilu Presiden) putaran pertama, 5 Juli 2004, tidak sedikit pengamat politik yang meragukan pasangan Capres-Cawapres Megawati Soekarnoputri dan KH Hasyim Muzadi (Mega-Hasyim) lolos ke putaran kedua. Tapi prakiraan para pengamat itu terbantah. Mega-Hasyim meraih 26,65 persen suara, berada di urutan kedua. Urutan pertama diraih pasangan Susilo BY-Jusuf Kalla (keduanya dibesarkan dalam Kabinet Gotong-Royong) dengan 33,5 persen suara.
Posisi Susilo BY dan Jusuf Kalla, yang di atas angin sebagai urutan teratas telah membuat Susilo BY terkesan meremehkan mesin politik partai-partai besar. Berbeda dengan Mega-Hasyim yang dianggap berbagai pihak sebagai underdog membuka pintu komunikasi politik lebar-lebar dengan partai-partai politik, sehingga melahirkan Koalisi Kebangsaan.
Perihal koalisi ini, Megawati mendasarinya pada prinsip bahwa pemerintahan yang akan datang telah diamanatkan oleh perubahan yang dilakukan dalam konstitusi UUD 1945 melalui amandemen yakni, suatu pemerintahan yang mekanisme antara eksekutif, legislatif dan yudikatif diharapkan mempunyai suatu kemapanan, suatu keseimbangan, sehingga dengan demikian suatu pemerintahan yang solid bisa berjalan dengan baik.
Megawati mengungkap bahwa dirinya seringkali berdiskusi dengan Wakil Presiden Hamzah Haz yang juga Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP). “Pak Hamzah, aneh juga kalau ada orang yang bilang bahwa partai (sistem partai politik) tidak diperlukan, karena yang diperlukan itu dukungan rakyat,” kata Megawati tanpa menyebut nama siapa yang dimaksud.
“Bapak bisa endak bayangkan kalau saya dipilih oleh rakyat saja, lalu rakyat suatu saat merasa dukungannya itu tidak diperlukan, lalu mereka lepaskan dukungannya, kan saya tinggal sendirian. Tetapi, kalau saya didukung oleh aspirasi rakyat yang dikumpulkan melalui partai-partai politik, maka, tentunya yang akan menjadi suatu tanggungjawab dan kewajiban dari partai politik itu adalah bagaimana mereka akan memberikan dukungannya dan bagaimana mereka akan menyurutkan dukungannya. Rasanya di seluruh dunia ini, entah saya salah baca apa tidak, tetapi rasanya sistem pemerintahan itu tetap melalui partai politik,” ungkap Megawati tentang percakapannya dengan Hamzah Haz.
Dalam hal ini, Megawati memberi pencerahan politik kepada publik. Banyak pihak menangkap makna pernyataan itu. Antara lain, bahwa orang yang ingin meraih dukungan rakyat tanpa melalui mekanisme sistem partai politik suatu saat akan menjalankan kekuasaannya sendirian tanpa mekanisme yang demokratis, sebab tidak mungkin mengumpulkan rakyat setiap saat mengambil keputusan.
Tapi kalau seseorang didukung rakyat melalui mekanisme dan sistem kepartaian, dia akan menjalankan kekuasaan dalam sistem yang demokratis melalui partai politik, sehingga dia tidak menjalankan kekuasaan sendirian alias diktator dan otoriter.
Kebersediaannya membagi kekuasaan, menunjukkan dirinya tidak berpotensi menjadi seorang diktator yang otoriter. Dia seorang pemimpin yang kuat dengan kepercayaan membagi kewenangan kepada orang lain baik sebagai mitra maupun sebagai pembantu (menteri). Kendati dia telah pernah dikhianati oleh dua-tiga orang menteri (pembantunya), dia tampak tetap pada pendirian untuk mempercayai orang lain.
Koalisi Kebangsaan dalam kaitan pembagian kekuasaan adalah wujud dari kemampuan mempercayai orang lain. Ini menunjukkan kepribadian yang kuat dan tidak selalu mencurigai orang lainnya. Berbeda dengan orang yang berkepribadian labil dan tak segan mengkhianati kepercayaan orang lain, dia akan cenderung sangat sulit mempercayai orang lain dan cenderung menggenggam kekuasaan di tangannya sendiri.
Bermodalkan Koalisi Kebangsaan yang akan mengggalang dukungan rakyat sampai ke akar rumput, pasangan Mega-Hasyim ini diperkirakan akan memenangkan Pemilu Presiden putaran kedua, 20 September 2004. Kemenangan Mega-Hasyim sekaligus akan membuktikan bahwa mesin politik partai benar-benar telah menjadi sistem penyaluran aspirasi rakyat secara efektif dan demokratis.
Derap perubahan
Perihal masalah pembaruan Indonesia, Megawati sangat yakin bahwa semua menyadari bahwa betapa luasnya lingkup pembaruan yang dicita-citakan itu. “Secara substansi, kita mengelola perubahan yang menyangkut segi kelembagaan dan prosedur dalam keseluruhan tatanan. Sekarang kita ibarat telah berada di tengah derap perubahan ke arah pembaruan itu. Kita gembira, karena betapa pun kecilnya, kita telah memulai langkah yang besar,” papar Megawati.
Bagai bola salju, lanjutnya, aura pembaruan atau reformasi tersebut terus menggelinding dan meluas. Memang harus diakui, acapkali kita sendiri tertegun dengan banyaknya akibat sampingan yang timbul dan tidak jarang menimbulkan masalah baru yang bahkan tidak kalah rumit dampaknya. “Berbagai kesulitan yang saat-saat ini kita hadapi bahkan lebih banyak berkaitan dengan masalah baru itu,” ujar Megawati.
Semula, papar Megawati, dikatakan bahwa semua itu sekadar eforia yang harus dipahami dan disikapi dengan sabar. Tetapi, ketika waktu terus berlalu, semua kian merasakan berlangsungnya banyak hal yang dianggap kurang menguntungkan. “Di tengah berbagai persoalan dalam gerak perubahan itu sendiri, kita juga harus mengelola ekses-ekses yang mengikutinya. Di antaranya dan yang selama ini sering kita rasakan adalah makin kurang imbangannya sikap dan perilaku kita bila dibandingkan dengan tujuan, langkah perubahan, dan pembaruan yang dihasilkan,” ujarnya.
“Kita sering kecewa bahwa langkah perubahan tidak kita laksanakan dalam bentuk dan dengan cara sebagaimana kita harapkan. Begitu pula ketika dalam rangka pembaruan kita mendambakan kehidupan ke arah yang lebih demokratis dan mandiri, yang hadir adalah faham tentang kebebasan yang seolah tanpa batas, dan menyulut pertikaian yang nyaris memorakporandakan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita. Kita juga menghadapi kegetiran baru karena tampilnya keadaan yang kadangkala dirasa lebih mundur dibandingkan kondisi umum yang pernah kita miliki di masa sebelum era ini,” kata Megawati.
Megawati menyadari masih belum cukup waktu untuk melakukan perbaikan dan perubahan berarti di bidang politik dan hukum. Warisan persoalan yang mengakar dari masa lampau akhirnya malah tampak menjerat langkah sendiri. Ketenangan penampilannya sebagai pemimpin tidak selalu menjamin ketenangan di dada masyarakat.
Dia menyadari bahwa banyak pihak yang tidak puas terhadap kinerjanya, yang menurut sebagian orang lambat. “Waktu permulaan, ah... Presiden Megawati itu orangnya lambat, tidak mau cepat memutuskan. Tidak mau ngomong. Ya, biar saja. Yang penting, ke depannya lebih berguna, daripada buru-buru, cepat-cepat,” katanya dalam suatu acara. Megawati pun optimis, bila rakyat mempercayainya memimpin bangsa ini lima tahun ke depan, akan melanjutkan pemulihan ekonomi yang sudah tercapai dengan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi.
sumber : http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/m/megawati/index2.shtml
0 comments:
Posting Komentar