Oleh: Zamhasari Jamil
DI SUATU siang yang sangat cerah dan panas, seorang rekanita saya, Disa Ayudian P. mengirim sms ke alfibret saya dalam bahasa asing yang dalam bahasa Indonesia artinya begini, “Beberapa malam terakhir ini aku menjadi orang yang sulit tidur dan pada siang harinya aku lebih banyak mengurung diri di rumah. Kemudian aku bertanya kepada Tuhan, “Ya Tuhan, apakah aku ini sedang jatuh cinta?” Tuhan menjawab, “Idiot, sekarang ini cuacanya sangat panas.” Ooo, begitu, gumamku.”
Cuaca yang sangat panas ini bukan hanya membuat saya menjadi sulit tidur dan malas bepergian seperti halnya rekanita yang mengirimkan sms tersebut, tapi juga banyak mengubah aktivitas saya sehari-hari, terutama membaca buku dan duduk santai di kantin Aligarh Muslim University (AMU), Aligarh. Seperti biasa, ruang baca perpustakaan utama AMU yang mampu menampung ribuan pelajar itu penuh selama 24 jam, apalagi pada masa-masa ujian tahunan ini.
Karena di ruang baca perpustakaan utama AMU itu tak menyisakan satu tempat dudukpun, maka saya hijrah ke ruang baca fakultas teologi, AMU. Sengaja saya memilih ruang baca fakultas teologi ini, karena di sini saya bisa juga meminjam dan membaca buku-buku keagamaan, seperti “Al-fiqhu al-Islami wa adillatuhu”, sebuah kitab fiqh kontemporer terdiri dari sebelas jilid yang disusun oleh Dr. Wahbah Zuhaili. Sedangkan di ruang baca perpustakaan departemen ilmu politik hanya memuat buku-buku dan jurnal yang berkaitan dengan politik, hukum internasional, hak azasi manusia, ketatanegaraan, filsafat politik dan sejenisnya.
Malam ini, sambil menikmati hembusan-hembusan lembut semilir angin malam diiringi putaran kaset dakwah KH. Zainuddin MZ, saya ingin merajut kata merangkai kalimat, menulis sebuah risalah yang saya sendiri belum bisa menentukan dimanakah risalah ini akan berakhir. Yang jelas, saya akan terus merajut kata-kata ini untuk dirangkai menjadi untaian-untaian kalimat dengan harapan semoga risalah kecil ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Nah, ketika saya sedang asik mengikuti irama alunan jari-jemari saya di atas keyboard komputer ini, saya teringat dengan pesan Rasulullah SAW yang berbunyi begini, “Idza wusida al-amru ila ghairi ahlihi fantahziri as-sa’atu.” Artinya, “Apabila suatu urusan (termasuk negara, institusi, organisasi) diurus oleh orang yang bukan ahlinya (tidak profesional), maka tunggulah kehancurannya.” Hadist Rasulullah SAW tersebut tentu saja sangat erat kaitannya dengan mereka yang ingin memegang suatu jabatan tertentu dengan berlandaskan kepada ambisi-ambisi politik sesaat, kepentingan-kepentingan pribadi yang tidak mendasar dan bukan didasari atas semangat profesionalisme dan tanggung jawab.
Menurut hemat saya, organisasi kemahasiswaan kita di India ini sedang dilanda oleh musibah besar, yaitu krisis figur atau krisis kepemimpinan. Sedangkan krisis-krisis yang lain, seperti krisis keuangan, krisis kegiatan, krisis silaturrahmi, semuanya itu berpunca dari krisis kepemimpinan itu tadi. Kalaulah organisasi kemahasiswaan di India ini memiliki figur pemimpin yang visioner, memiliki semangat kerja profesionalisme yang mantap, peka terhadap berbagai persoalan yang sedang dihadapi oleh organisasi itu sendiri (problematika internal) dan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat dan dunia luar (problematika eksternal), maka krisis-krisis yang lain itu akan mudah untuk diatasi.
Sekarang muncul pertanyaan, mengapa kita dihadapkan pada krisis kepemimpinan? Karena kita sedang diuji oleh Allah SWT, dan tentu saja ujian ini merupakan salah satu bukti bahwa Allah SWT masih sayang dan cinta kepada kita semua. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Innallaha idza ahabba ‘abdan ibtala-a.” Artinya, “Sesungguhnya Allah SWT, jika mencinta hambaNya, diujiNya hambaNya itu.”
Disini Allah SWT akan melihat apakah kita sabar dan bisa sukses dalam menghadapi ujian ini? Kalaulah kita sabar dan sukses dalam ujian ini, tentu saja kita akan naik tingkat atau naik ke derajat yang lebih tinggi. Sabar disini berarti kita benar-benar mampu menemukan figur-figur pemimpin ideal yang akan menjamin kesuksesan bagi masa depan organisasi kemahasiswaan kita. Untuk itu, hendaknya kita memilih calon-calon pemimpin itu bukan atas dasar nafsu belaka, tapi harus benar-benar berdasarkan kemampuan yang dimiliki oleh calon yang kita pilih itu.
Seperti apakah pemimpin yang ideal itu? Saya ingin mengajak pembaca untuk meneropong ritual ibadah sholat berjamaah sesaat saja. Di dalam sholat berjamaah, ada yang disebut dengan imam (pemimpin) dan ada pula yang disebut dengan makmum (jamaah atau rakyat). Dan dalam sholat berjamaah ini, fiqh (undang-undang hukum Islam) tak pernah mempertanyakan siapa yang jadi makmum. Siapa saja boleh jadi makmum, tapi fiqh sangat ketat dalam memilih imam. Dalam konteks organisasi kemahasiswaan kita, siapa saja boleh jadi anggota, tapi tidak sama halnya untuk menjadi seorang pemimpin organisasi ini.
Kata fiqh, seorang imam itu haruslah orang yang paling ‘alim (pandai) diantara kamu, ini syarat yang pertama. Imam itu haruslah orang yang betul-betul paham dan mengerti agama, terutama mengenai sholat. Begitu pula dalam sebuah organisasi, hendaknya seorang pemimpin itu adalah orang yang tahu problematika internal organisasi dan problematika eksternal yang sedang dihadapi oleh rakyat dan dunia luar serta tahu pula mencari jalan keluar untuk menyelesaikan problematika-problematika tersebut.
Syarat kedua, kata fiqh, seorang imam itu haruslah memiliki bacaan yang bagus dan indah. Imam tidak boleh orang belo. Didalam sebuah organisasi, ini dapat kita artikan bahwa seorang pemimpin itu hendaknya memiliki kemampuan orasi yang cantik, kemampuan untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan dan aspirasi-aspirasi anggota dan masyarakat ramai. Itu sebabnya seorang pemimpin dituntut untuk memiliki sense of politics yang kuat terhadap anggota yang dipimpinnya.
Apabila dua ciri pemimpin ideal diatas ditemukan pada banyak figur, maka syarat untuk menjadi imam yang ketiga, kata fiqh, hendaklah kamu memilih orang yang lebih tua umurnya. Jika kita komparasikan syarat untuk menjadi imam yang ketiga ini dengan seorang pemimpin organisasi, maka hendaknya kita utamakan yang lebih senior (dari segi usia) untuk menduduki jabatan pemimpin itu.
Kalau tiga ciri pemimpin ideal diatas ada pada beberapa orang figur atau calon, maka syarat keempat untuk menjadi imam itu, kata fiqh, hendaklah kamu memilih orang yang paling dulu atau paling lama tinggal di daerah itu. Bila kita kembali membandingkan syarat keempat ini dengan ciri pemimpin ideal untuk sebuah organisasi, maka hendaklah kita memilih orang yang paling lama tinggal di India ini.
Apabila kita sudah menemukan pemimpin ideal yang pada dirinya ditemukan syarat-syarat yang disebutkan diatas, maka selanjutnya seorang pemimpin ideal itu hendaklah: Pertama, memiliki jiwa yang lapang, terutama dalam menerima perbedaan pendapat, teguran dan kritikan. Jika anda adalah pemimpin yang ideal, maka anda harus berani untuk menerima masukan, berani untuk introspeksi diri, tahu diri ketika ditegur dan berani untuk memperbaiki kinerja anda ketika dikritisi. Seorang pemimpin ideal tak perlu mengkambinghitamkan orang lain bila kepemimpinan dan kinerjanya ditegur dan dikritisi oleh orang lain.
Rasululullah SAW pernah mengatakan, “Thuba liman syagholahu ‘aibuhu ‘an ‘uyubinnaas.” Artinya, “Beruntunglah orang-orang yang karena kekurangan pada dirinya, membuat ia lupa pada kekurangan-kekurangan yang ada pada diri orang lain.” Untuk itu, sekali lagi saya katakan, lebih baik memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terdapat pada kepemimpinan dan kinerja anda daripada sibuk menyalahkan orang lain. Dan kita sebagai anggota juga jauh lebih baik memperbaiki kinerja dan kekurangan-kekurangan yang ada pada diri kita daripada sibuk mencari-cari kesalahan dan kekurangan yang terdapat pada diri orang lain.
Kedua, pemimpin ideal itu hendaknya memiliki visi yang jauh ke depan dan semangat kerja profesionalisme yang tinggi. Seorang pemimpin ideal harus tahu kemana arah dan haluan organisasi yang sedang ia pimpin itu harus dibawa. Bila dalam menentukan arah dan haluan organisasi ini muncul perbedaan pendapat antara para elit organisasi, maka disinilah seorang pemimpin ideal itu harus mampu memperlihatkan semangat profesionalismenya.
Semangat profesionalisme ini diperlihatkan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya, “Fa-idzaa ikhtalaftum fa’alaikum bish-showatil a’zhom ma’al haqqie wa ahlihi.” Artinya, “Apabila kamu berbeda pendapat, maka ikutilah suara yang terbanyak dan disampaikan oleh ahlinya.” Disini, seorang pemimpin ideal dituntut untuk memutuskan suatu perkara itu secara professional. Bila terjadi perbedaan pendapat, maka ikutilah suara yang terbanyak, dan tentu saja suara yang terbanyak itu disampaikan oleh orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Pemimpin ideal bukanlah pemimpin yang memaksakan kehendak sesuka hati-perutnya saja kepada para anggota atau rakyat yang dipimpinnya.
Ketiga, semangat silaturrahmi harus dimiliki oleh pemimpin ideal. Dengan bersilaturrahmi, pemimpin tersebut akan mengetahui secara langsung kondisi sebenarnya yang dihadapi oleh anggota atau rakyatnya. Pemimpin yang tidak memiliki semangat silaturrahmi atau kurang pergaulan, -associateless, dalam bahasa Melayunya- hanyalah akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang sok tahu dan sok perhatian terhadap orang lain. Rasulullah SAW mengingatkan, “’Alaika biljama’ah fa-innama yakkulu ad-dzikbu minal ghanamil ghasiyah.” Artinya, “Hendaklah kamu tetap berjamaah (menjaga silaturrahmi), karena sesungguhnya srigala hanya akan memangsa domba yang bercerai dari kelompoknya.”
Pemimpin yang associateless hanyalah akan menjadi mangsa perasaannya sendiri dikarenakan minimnya semangat bersilaturrahmi yang ada pada dirinya itu. Setidaknya ia akan merasa bahwa jabatan pemimpin yang disandangnya tersebut hanya terasa sebagai beban belaka dalam hidupnya. Ia tak mampu menjadikan jabatannya sebagai pemimpin itu untuk berbuat yang terbaik dan berbuat lebih banyak lagi demi kemajuan organisasi yang dipimpinnya.
Keempat, pemimpin ideal dituntut untuk memiliki sikap gotong-royong dalam kebersamaan dan toleransi dalam perbedaan. Kerjasama yang kokoh antara pemimpin dengan yang dipimpin merupakan modal dasar dalam menyukseskan segala program kerja-program kerja organisasi. Sebuah organisasi juga tidak akan berjalan sempurna bila pemimpinnya bekerja sendiri dan tidak dibantu oleh pengurus (para elit) organisasi itu sendiri. Oleh karena itu, pemimpin ideal tak perlu cepat naik pitam atau naik darah bila melihat wajah-wajah yang berseberangan pendapat dengannya, karena itu hanyalah merupakan ciri seorang pemimpin yang cengeng. Disinilah tempatnya seorang pemimpin ideal itu harus mengembangkan sikap toleransi dalam menghadapi perbedaan.
Tak terasa begitu cepat waktu berlalu, dan saya harus segera mengakhiri untaian-untaian kalimat ini. Saya berpesan kepada diri saya pribadi dan para pembaca untuk senantiasa memperkuat sandaran vertikal kita kepada Allah SWT sebagai bukti bahwa kita bukanlah bangsa yang sombong, bangsa yang sudah tidak memerlukan bantuan dan pertolonganNya dalam menemukan pemimpin-pemimpin ideal untuk organisasi kemahasiswaan kita. Kita juga bukan bangsa yang berjiwa "agar-agar" yang mudah goyah dan terombang-ambing diterpa oleh badai dan krisis yang berkesinambungan. Kita bukan pula bangsa yang seperti ayam kena sampar, la yahya wa la yamutu, hidup segan mati tak mau.
Kita mahasiswa dan mahasiswi Indonesia di India ini adalah singa-singa tidur yang harus segera dibangunkan. Jiwa-jiwa kemahasiswaan kita yang sedang mengalami mati suri harus segera dihidupkan kembali. Dengan semangat optimisme yang tinggi, bersama kita berlayar menuju Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) India yang cemerlang di masa depan. Karena itu, hiduplah dan bangunlah wahai singa-singa yang mati suri. Menariknya, ketika saya akan menyudahi risalah ini, alfibret saya berdering kembali dan ketika saya angkat, terdengar suara Nidya menyapa dan mau curhat seperti biasa, “Kak, Nidya bingung nih, mau memilih siapa?” Sayapun berpesan kepada Nidya, “Pilihlah yang ideal buat neng. Dan pilihan neng itukan hanya ada dua, kalau nggak mas Sa’i, ya kakak.” []
Zamhasari Jamil, Pelajar Ilmu Politik di Aligarh Muslim University, Aligarh, India; Asal Riau.
Sumber : http://e-tafakkur.blogspot.com/2006/06/memilih-pemimpin-yang-ideal.html
DI SUATU siang yang sangat cerah dan panas, seorang rekanita saya, Disa Ayudian P. mengirim sms ke alfibret saya dalam bahasa asing yang dalam bahasa Indonesia artinya begini, “Beberapa malam terakhir ini aku menjadi orang yang sulit tidur dan pada siang harinya aku lebih banyak mengurung diri di rumah. Kemudian aku bertanya kepada Tuhan, “Ya Tuhan, apakah aku ini sedang jatuh cinta?” Tuhan menjawab, “Idiot, sekarang ini cuacanya sangat panas.” Ooo, begitu, gumamku.”
Cuaca yang sangat panas ini bukan hanya membuat saya menjadi sulit tidur dan malas bepergian seperti halnya rekanita yang mengirimkan sms tersebut, tapi juga banyak mengubah aktivitas saya sehari-hari, terutama membaca buku dan duduk santai di kantin Aligarh Muslim University (AMU), Aligarh. Seperti biasa, ruang baca perpustakaan utama AMU yang mampu menampung ribuan pelajar itu penuh selama 24 jam, apalagi pada masa-masa ujian tahunan ini.
Karena di ruang baca perpustakaan utama AMU itu tak menyisakan satu tempat dudukpun, maka saya hijrah ke ruang baca fakultas teologi, AMU. Sengaja saya memilih ruang baca fakultas teologi ini, karena di sini saya bisa juga meminjam dan membaca buku-buku keagamaan, seperti “Al-fiqhu al-Islami wa adillatuhu”, sebuah kitab fiqh kontemporer terdiri dari sebelas jilid yang disusun oleh Dr. Wahbah Zuhaili. Sedangkan di ruang baca perpustakaan departemen ilmu politik hanya memuat buku-buku dan jurnal yang berkaitan dengan politik, hukum internasional, hak azasi manusia, ketatanegaraan, filsafat politik dan sejenisnya.
Malam ini, sambil menikmati hembusan-hembusan lembut semilir angin malam diiringi putaran kaset dakwah KH. Zainuddin MZ, saya ingin merajut kata merangkai kalimat, menulis sebuah risalah yang saya sendiri belum bisa menentukan dimanakah risalah ini akan berakhir. Yang jelas, saya akan terus merajut kata-kata ini untuk dirangkai menjadi untaian-untaian kalimat dengan harapan semoga risalah kecil ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Nah, ketika saya sedang asik mengikuti irama alunan jari-jemari saya di atas keyboard komputer ini, saya teringat dengan pesan Rasulullah SAW yang berbunyi begini, “Idza wusida al-amru ila ghairi ahlihi fantahziri as-sa’atu.” Artinya, “Apabila suatu urusan (termasuk negara, institusi, organisasi) diurus oleh orang yang bukan ahlinya (tidak profesional), maka tunggulah kehancurannya.” Hadist Rasulullah SAW tersebut tentu saja sangat erat kaitannya dengan mereka yang ingin memegang suatu jabatan tertentu dengan berlandaskan kepada ambisi-ambisi politik sesaat, kepentingan-kepentingan pribadi yang tidak mendasar dan bukan didasari atas semangat profesionalisme dan tanggung jawab.
Menurut hemat saya, organisasi kemahasiswaan kita di India ini sedang dilanda oleh musibah besar, yaitu krisis figur atau krisis kepemimpinan. Sedangkan krisis-krisis yang lain, seperti krisis keuangan, krisis kegiatan, krisis silaturrahmi, semuanya itu berpunca dari krisis kepemimpinan itu tadi. Kalaulah organisasi kemahasiswaan di India ini memiliki figur pemimpin yang visioner, memiliki semangat kerja profesionalisme yang mantap, peka terhadap berbagai persoalan yang sedang dihadapi oleh organisasi itu sendiri (problematika internal) dan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat dan dunia luar (problematika eksternal), maka krisis-krisis yang lain itu akan mudah untuk diatasi.
Sekarang muncul pertanyaan, mengapa kita dihadapkan pada krisis kepemimpinan? Karena kita sedang diuji oleh Allah SWT, dan tentu saja ujian ini merupakan salah satu bukti bahwa Allah SWT masih sayang dan cinta kepada kita semua. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Innallaha idza ahabba ‘abdan ibtala-a.” Artinya, “Sesungguhnya Allah SWT, jika mencinta hambaNya, diujiNya hambaNya itu.”
Disini Allah SWT akan melihat apakah kita sabar dan bisa sukses dalam menghadapi ujian ini? Kalaulah kita sabar dan sukses dalam ujian ini, tentu saja kita akan naik tingkat atau naik ke derajat yang lebih tinggi. Sabar disini berarti kita benar-benar mampu menemukan figur-figur pemimpin ideal yang akan menjamin kesuksesan bagi masa depan organisasi kemahasiswaan kita. Untuk itu, hendaknya kita memilih calon-calon pemimpin itu bukan atas dasar nafsu belaka, tapi harus benar-benar berdasarkan kemampuan yang dimiliki oleh calon yang kita pilih itu.
Seperti apakah pemimpin yang ideal itu? Saya ingin mengajak pembaca untuk meneropong ritual ibadah sholat berjamaah sesaat saja. Di dalam sholat berjamaah, ada yang disebut dengan imam (pemimpin) dan ada pula yang disebut dengan makmum (jamaah atau rakyat). Dan dalam sholat berjamaah ini, fiqh (undang-undang hukum Islam) tak pernah mempertanyakan siapa yang jadi makmum. Siapa saja boleh jadi makmum, tapi fiqh sangat ketat dalam memilih imam. Dalam konteks organisasi kemahasiswaan kita, siapa saja boleh jadi anggota, tapi tidak sama halnya untuk menjadi seorang pemimpin organisasi ini.
Kata fiqh, seorang imam itu haruslah orang yang paling ‘alim (pandai) diantara kamu, ini syarat yang pertama. Imam itu haruslah orang yang betul-betul paham dan mengerti agama, terutama mengenai sholat. Begitu pula dalam sebuah organisasi, hendaknya seorang pemimpin itu adalah orang yang tahu problematika internal organisasi dan problematika eksternal yang sedang dihadapi oleh rakyat dan dunia luar serta tahu pula mencari jalan keluar untuk menyelesaikan problematika-problematika tersebut.
Syarat kedua, kata fiqh, seorang imam itu haruslah memiliki bacaan yang bagus dan indah. Imam tidak boleh orang belo. Didalam sebuah organisasi, ini dapat kita artikan bahwa seorang pemimpin itu hendaknya memiliki kemampuan orasi yang cantik, kemampuan untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan dan aspirasi-aspirasi anggota dan masyarakat ramai. Itu sebabnya seorang pemimpin dituntut untuk memiliki sense of politics yang kuat terhadap anggota yang dipimpinnya.
Apabila dua ciri pemimpin ideal diatas ditemukan pada banyak figur, maka syarat untuk menjadi imam yang ketiga, kata fiqh, hendaklah kamu memilih orang yang lebih tua umurnya. Jika kita komparasikan syarat untuk menjadi imam yang ketiga ini dengan seorang pemimpin organisasi, maka hendaknya kita utamakan yang lebih senior (dari segi usia) untuk menduduki jabatan pemimpin itu.
Kalau tiga ciri pemimpin ideal diatas ada pada beberapa orang figur atau calon, maka syarat keempat untuk menjadi imam itu, kata fiqh, hendaklah kamu memilih orang yang paling dulu atau paling lama tinggal di daerah itu. Bila kita kembali membandingkan syarat keempat ini dengan ciri pemimpin ideal untuk sebuah organisasi, maka hendaklah kita memilih orang yang paling lama tinggal di India ini.
Apabila kita sudah menemukan pemimpin ideal yang pada dirinya ditemukan syarat-syarat yang disebutkan diatas, maka selanjutnya seorang pemimpin ideal itu hendaklah: Pertama, memiliki jiwa yang lapang, terutama dalam menerima perbedaan pendapat, teguran dan kritikan. Jika anda adalah pemimpin yang ideal, maka anda harus berani untuk menerima masukan, berani untuk introspeksi diri, tahu diri ketika ditegur dan berani untuk memperbaiki kinerja anda ketika dikritisi. Seorang pemimpin ideal tak perlu mengkambinghitamkan orang lain bila kepemimpinan dan kinerjanya ditegur dan dikritisi oleh orang lain.
Rasululullah SAW pernah mengatakan, “Thuba liman syagholahu ‘aibuhu ‘an ‘uyubinnaas.” Artinya, “Beruntunglah orang-orang yang karena kekurangan pada dirinya, membuat ia lupa pada kekurangan-kekurangan yang ada pada diri orang lain.” Untuk itu, sekali lagi saya katakan, lebih baik memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terdapat pada kepemimpinan dan kinerja anda daripada sibuk menyalahkan orang lain. Dan kita sebagai anggota juga jauh lebih baik memperbaiki kinerja dan kekurangan-kekurangan yang ada pada diri kita daripada sibuk mencari-cari kesalahan dan kekurangan yang terdapat pada diri orang lain.
Kedua, pemimpin ideal itu hendaknya memiliki visi yang jauh ke depan dan semangat kerja profesionalisme yang tinggi. Seorang pemimpin ideal harus tahu kemana arah dan haluan organisasi yang sedang ia pimpin itu harus dibawa. Bila dalam menentukan arah dan haluan organisasi ini muncul perbedaan pendapat antara para elit organisasi, maka disinilah seorang pemimpin ideal itu harus mampu memperlihatkan semangat profesionalismenya.
Semangat profesionalisme ini diperlihatkan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya, “Fa-idzaa ikhtalaftum fa’alaikum bish-showatil a’zhom ma’al haqqie wa ahlihi.” Artinya, “Apabila kamu berbeda pendapat, maka ikutilah suara yang terbanyak dan disampaikan oleh ahlinya.” Disini, seorang pemimpin ideal dituntut untuk memutuskan suatu perkara itu secara professional. Bila terjadi perbedaan pendapat, maka ikutilah suara yang terbanyak, dan tentu saja suara yang terbanyak itu disampaikan oleh orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Pemimpin ideal bukanlah pemimpin yang memaksakan kehendak sesuka hati-perutnya saja kepada para anggota atau rakyat yang dipimpinnya.
Ketiga, semangat silaturrahmi harus dimiliki oleh pemimpin ideal. Dengan bersilaturrahmi, pemimpin tersebut akan mengetahui secara langsung kondisi sebenarnya yang dihadapi oleh anggota atau rakyatnya. Pemimpin yang tidak memiliki semangat silaturrahmi atau kurang pergaulan, -associateless, dalam bahasa Melayunya- hanyalah akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang sok tahu dan sok perhatian terhadap orang lain. Rasulullah SAW mengingatkan, “’Alaika biljama’ah fa-innama yakkulu ad-dzikbu minal ghanamil ghasiyah.” Artinya, “Hendaklah kamu tetap berjamaah (menjaga silaturrahmi), karena sesungguhnya srigala hanya akan memangsa domba yang bercerai dari kelompoknya.”
Pemimpin yang associateless hanyalah akan menjadi mangsa perasaannya sendiri dikarenakan minimnya semangat bersilaturrahmi yang ada pada dirinya itu. Setidaknya ia akan merasa bahwa jabatan pemimpin yang disandangnya tersebut hanya terasa sebagai beban belaka dalam hidupnya. Ia tak mampu menjadikan jabatannya sebagai pemimpin itu untuk berbuat yang terbaik dan berbuat lebih banyak lagi demi kemajuan organisasi yang dipimpinnya.
Keempat, pemimpin ideal dituntut untuk memiliki sikap gotong-royong dalam kebersamaan dan toleransi dalam perbedaan. Kerjasama yang kokoh antara pemimpin dengan yang dipimpin merupakan modal dasar dalam menyukseskan segala program kerja-program kerja organisasi. Sebuah organisasi juga tidak akan berjalan sempurna bila pemimpinnya bekerja sendiri dan tidak dibantu oleh pengurus (para elit) organisasi itu sendiri. Oleh karena itu, pemimpin ideal tak perlu cepat naik pitam atau naik darah bila melihat wajah-wajah yang berseberangan pendapat dengannya, karena itu hanyalah merupakan ciri seorang pemimpin yang cengeng. Disinilah tempatnya seorang pemimpin ideal itu harus mengembangkan sikap toleransi dalam menghadapi perbedaan.
Tak terasa begitu cepat waktu berlalu, dan saya harus segera mengakhiri untaian-untaian kalimat ini. Saya berpesan kepada diri saya pribadi dan para pembaca untuk senantiasa memperkuat sandaran vertikal kita kepada Allah SWT sebagai bukti bahwa kita bukanlah bangsa yang sombong, bangsa yang sudah tidak memerlukan bantuan dan pertolonganNya dalam menemukan pemimpin-pemimpin ideal untuk organisasi kemahasiswaan kita. Kita juga bukan bangsa yang berjiwa "agar-agar" yang mudah goyah dan terombang-ambing diterpa oleh badai dan krisis yang berkesinambungan. Kita bukan pula bangsa yang seperti ayam kena sampar, la yahya wa la yamutu, hidup segan mati tak mau.
Kita mahasiswa dan mahasiswi Indonesia di India ini adalah singa-singa tidur yang harus segera dibangunkan. Jiwa-jiwa kemahasiswaan kita yang sedang mengalami mati suri harus segera dihidupkan kembali. Dengan semangat optimisme yang tinggi, bersama kita berlayar menuju Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) India yang cemerlang di masa depan. Karena itu, hiduplah dan bangunlah wahai singa-singa yang mati suri. Menariknya, ketika saya akan menyudahi risalah ini, alfibret saya berdering kembali dan ketika saya angkat, terdengar suara Nidya menyapa dan mau curhat seperti biasa, “Kak, Nidya bingung nih, mau memilih siapa?” Sayapun berpesan kepada Nidya, “Pilihlah yang ideal buat neng. Dan pilihan neng itukan hanya ada dua, kalau nggak mas Sa’i, ya kakak.” []
Zamhasari Jamil, Pelajar Ilmu Politik di Aligarh Muslim University, Aligarh, India; Asal Riau.
Sumber : http://e-tafakkur.blogspot.com/2006/06/memilih-pemimpin-yang-ideal.html
0 comments:
Posting Komentar